Selasa, 11 Juni 2013

AL-ADA’WA TAHAMMUL AL-HADIS

AL-ADA’WA TAHAMMUL AL-HADIS
                               I.            PENDAHULUAN
Penghimpunan dan periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat rumit yang telah ditetapkan oleh ulama, dan yang mereka jelaskan secara lengkap di dalam buku-buku Ushulul Hadits.
Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW, kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai ada di antara mereka yang mengatakan, ilmu-ilmu hadits itu telah matang sampai terbakar, karena banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama. Untuk memahami ilmu hadits ulama telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits, yang disusun oleh ulama dalam bentuk beragam karya  sampai masing- masing ilmu bisa berdiri sendiri. Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam waktu yang hampir bersamaan dan saling berkaitan.
Adapun salah satu ilmu yang sangat penting yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadits adalah al-Ada’wa Tahammul al-Hadits yang akan kita bahas dalam makalah ini.
Allah telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad Saw, para pendahulu yang selalu menjaga Al-Quran dan Al-Hadis. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagian diantara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap al-Quran dan ilmunya, yaitu para mufassirin. Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Seseorang yang telah mempelajari hadits dengan sungguh-sungguh dengan cara yang benar memiliki beberapa kode etik yang harus dia jaga dan dia pelihara, baik ketika masih menjadi pelajar itu sendiri atau ketika dia sudah mengajarkannya kepada orang lain kelak. Di dalam ilmu hadits hal ini dikenal dengan istilah al-Ada’wa Tahammul al-Hadis. Di dalam makalah ini akan dibahas cara penerimaaan dan periwayatan hadis yang disebut dengan al-Ada’wa Tahammul al-Hadits.

                            II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian Al-Ada’wa Tahammul Al-Hadits
B.     Syarat-syarat Al-Ada’wa Tahammul Al-Hadits
C.     Penerimaan Hadis
D.    Metode Penerimaan Hadits
E.     Periwayatan Hadis

                         III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Al-Ada’wa Tahammul Al-Hadits
Al-Ada‘ secara etimologis berarti sampai/melaksanakan. Secara terminologi Al-Ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya.[1] Para ulama ahli hadis mengistilahkan al-ada’ yaitu menyampaikan atau meriwayatkan hadis.[2] Jadi Al-Ada’ yaitu meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Menurut bahasa tahammul berasal dari kata ( mashdar) yaitu  تَحَمَّلَ يَتَحَمَّلُ تَحَمُّلاً yang berarti menanggung, membawa,atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Sedangkan menurut istilah yaitu mempelajari sebuah hadits dari seorang syeikh.[3]
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan At-tahamul adalah “mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu”.[4] Sedangkan para ulama ahli hadis mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan hadis dari seseorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadis” dengan istilah al-tahammul.[5]

B.     Syarat-syarat Al-Ada’wa Tahammul Al-Hadits
1)      Syarat-syarat Al-Ada’ul Hadits
Mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikih sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadits harus mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (Dlabit), serta memiliki integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqahi). Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadits yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya. Sementara itu, untuk mencapai tingkat ‘Adalah seseorang harus memenuhi empat syarat yaitu:
·         Islam
·         Balig
·         Berakal
·         Takwa.
Sedangkan kepribadian baik yang mesti dimiliki oleh perawi hadits seperti diungkapkan oleh al Zanjani, lebih banyak dikaitkan dengan etika masyarakat atau pranata sosial. Namun, bukan berarti bahwa ia harus orang yang sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang baik tentu memiliki banyak kekurangan. Melainkan yang menjadi tolok ukur disini adalah keistimewaan yang ada melebihi kekuranganya, dan kekurangannya dapat tertutupi oleh kelebihannya.
2)      Syarat-syarat Tahammul Al-Hadis
Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari orang lain adalah:
·         Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid)
·         Berakal sempurna
·           Tamyis
Ulama’ hadist memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz. Untuk batasan minimal seseorang bisa dikatakan tamyis dalam hal ini ulama hadist pun masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau 10 tahun, atau berusia 20 tahun, bahkan ada yang mengatakan minimal berusia 30 tahun.
Beberapa ulama’ hadist masih berselisih dalam pembahasan anak-anak dalam menerima hadist, mayoritas ulama’ hadist menganggap mereka boleh menerima riwayat hadits, sementara yang lain berpendapat bahwa hadits yang diterima mereka tidak sah. Akan tetapi yang lebih mendekati pada kebenaran adalah pendapat yang dikemukakan ulama jumhur dikarenakan banyak para sahabat atau tabi’in yang menerima hadits yang diriwayatkan oleh Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas, dan lain-lain, tanpa membedakan mana hadits yang mereka terima ketika masih kecil dan yang setelahnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh al hafidz Ibnu Katsir dalam bukunya Ikhtishar Ulumul Hadits, bahkan beliau menambahkan bahwa tahamul hadits orang fasik dan non-Muslim juga sah. Namun hadits yang diterima oleh orang kafir ini bisa diterima bila ia meriwayatkannya (ada’) setelah masuk Islam. Dan yang terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus adalah factor utama bukanlah batasan umur, melainkan sifat tamyiz pada diri orang tersebut sekalipun belum baliqh.[6]
C.    Penerimaan Hadis
·         Penerimaan Hadis pada anak-anak
Jumhur ulama ahli hadis berpendapat, bahwa penerimaan periwayatan suatu hadis oleh anak yang belum sampai umur (belum mukallaf) dianggap sah bila periwayatan hadis tersebut disampaikan kepada orang lain pada waktu sudah mukallaf. Hal ini didasarkan kepada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya yang menerima periwayatan hadis seperti Hasan, Abdullah bin Zubeir, Ibnu Abbas, Nu’man bin Basyir, Salid bin Yazid, dan lain-lain dengan tanpa mempermasalahkan apakah mereka telah baligh atau belum. Namun mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal usia anak yang diperbolehkan bertahammul, sebab permasalahan ini tidak terlepas dari ketamyizan anak tersebut.
Al-Qadhi ‘Iyad menetapkan, bahwa batas minimal usia anak diperbolehkan bertahammul paling tidak sudah berusia lima tahun, karena pada usia ini anak sudah mampu menghafal apa yang didengar dan mengingat-ingat yang dihafal.
Abu Abdullah Al-Zuba’i mengatakan, bahwa sebaiknya anak diperbolehkan menulis hadis pada saat usia mereka telah mencapai umur sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna, dalam arti bahwa mereka telah mempunyai kemampuan untuk menghafal dan mengingat hafalannya dan mulai menginjak dewasa.
Sementara kebanyakan ulama ahli hadis tidak menetapkan batasan usia tertentu bagi anak yang diperbolehkan bertahammul, akan tetapi lebih menitikberatkan  pada ketamyizan mereka. Namun mereka juga berbeda pendapat tentang ketamyizan tersebut. Terjadinya perbedaan pendapat tersebut tidak terlepas dari kondisi yang mempengaruhi kepadanya dan bukan berdasar pada usianya. Ketamyizan seseorang bukan diukur dari usia, tetapi didasarkan pada tingkat kemampuan menangkap dan memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar serta adanya kemampuan menghafal dan mengingat-ingat hafalannya.
·         Penerimaan Hadis Pada Orang Kafir Dan Fasik
Mengenai penerimaan hadis bagi orang kafir dan orang fasik, jumhur ulama ahli hadis menganggap sah, asalkan hadis tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk islam dan bertobat. Alasan yang mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang mendengar sabda Nabi SAW sebelum mereka masuk islam.
Bila penerima hadis oleh orang kafir yang kemudian disampaikannya setelah memeluk islam dapat diterima, maka sudah barang tentu dianggap sah penerimaan hadis oleh orang fasik yang diriwayatkan  setelah dia bertobat.[7]

D.    Metode Penerimaan Hadist
1)      As-Sima’
Yaitu seorang guru membaca hadis yang dihafalnya atau yang ada di kitab tertentu di hadapan para murid.[8] Menurut jumhur ahli hadis bahwa cara ini merupakan cara penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya.
2)      Al-Qira’ah  ‘Ala Syaikh atau ‘Aradh Al-Qira’ah
Yaitu suatu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang membacakan hadis dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedang sang guru hafal maupun tidak tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau dia tergolong tsiqah.
3)      Al-Ijazah
Yaitu seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya.
4)      Al-Munawalah
Yaitu seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan.
5)      Al-Mukatabah
Yaitu seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadisnya guna diberikan kepada murid yang ada dihadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.
6)      Al-I’lam
Yaitu pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa kitab atau hadis yang diriwayatkannya dia terima dari seseorang (guru), dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkannya atau menyuruhnya.
7)      Al-Wasiyah
Yaitu seorang guru, ketika akan meninggal atau bepergian, meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadis atau kitabnya, setelah sang guru meninggal atau bepergian.
8)      Al-Wijadah
Yaitu seorang memperoleh hadis orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadis dengan tidak melalui cara  al-sama’, al-ijazah atau al-munawalah.[9]

F.   Periwayatan Hadis
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa al-ada’ ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain. Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu menurut pertanggungjawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadis juga sangat tergantung padanya. Ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadis, yakni sebagai berikut:
1.      Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu hadis, maka seorang perawi harus muslim.
2.      Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis, walau penerimanya sebelum baligh.
3.      ‘Adalah
Yang dimaksud adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian
4.      Dhabit
Yaitu antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadis yang disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil, dan tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang lebih kuat ayat-ayat al-qur’an.[10]

                         IV.            KESIMPULAN
Al-Ada’ yaitu meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru. At-tahamul adalah “mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu”.
Syarat al-ada’ yaitu seorang guru yang menyampaikan sebuah hadits harus mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (Dlabit), serta memiliki integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqahi). Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadits yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya. Sedangkan syarat al-tahammul yaitu Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid), berakal sempurna, tamyis.
Penerimaan hadis ada 3 yaitu penerimaan hadis pada anak, orang kafir dan fasik. Sedangkan metode penerimaan hadis ada 8 yaitu al-sima’, al-qira’ah, al-ijazah, al-munawalah, al-mukatabah, al-i’lam, al-wasiyah, al-wijadah.






                            V.            PENUTUP
Demikian makalh ini kami buat, tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca kami harapkan untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.




























DAFTAR PUSTAKA
Suparta, Munzeir, Ilmu Hadis, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993.
Zuhri, Muh, Hadis Nabi, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003.










[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadis,(Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,1993), hlm, 195.
[5] Op.Cit, hlm,195.
[7] Munzier Suparta, Op.Cit, hlm, 195-198.
[8] Muh Zuhri, Hadis Nabi, (Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm, 106.
[9] Munzier Suparta, Op.Cit, hlm, 199-204
[10] Munzeir Suparta, Op.Cit., hlm, 204-206.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar