Rabu, 25 Desember 2013

makalah jalan pikiran

I.                   PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Logika sebagai teori penyimpulan, berlandaskan pada suatu konsep yang dinyatakan dalam bentuk kata atau istilah, dan dapat diungkapkan dalam bentuk himpunan sehingga setiap konsep mempunyai himpunan, mempunyai keluasan. Dengan dasar himpunan karena semua unsur penalaran dalam logika pembuktiannya menggunakan diagram himpunan, dan ini merupakan pembuktian secara formal jika diungkapkan dengan diagram himpunan sah dan tepat karena sah dan tepat pula penalaran tersebut.
Berdasarkan proses penalarannya dan juga sifat kesimpulan yang dihasilkannya, logika dibedakan antara logika deduktif dan logika induktif. Logika deduktif adalah sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah berdasarkan bentuknya serta kesimpulan yang dihasilkan sebagai kemestian diturunkan dari pangkal pikirnya. Dalam logika ini yang terutama ditelaah adalah bentuk dari kerjanya akal jika telah runtut dan sesuai dengan pertimbangan akal yang dapat dibuktikan tidak ada kesimpulan lain karena proses penyimpulannya adalah tepat dan sah. Logika deduktif karena berbicara tentang hubungan bentuk-bentuk pernyataan saja yang utama terlepas isi apa yang diuraikan karena logika deduktif disebut pula logika formal.  
Oleh karna pentingnya materi-materi tersebut di atas, maka dalam makalah ini, penulis akan sedikit menjelaskan mengenai jalan pikiran, teori Induksi dan deduksi.                               

B.     Rumusa Masalah
1.      Apa Pengertian Jalan Pikiran?
2.      Bagaimana Cara Menguji Suatu Jalan Pikiran?
3.      Apa yang Di Maksud dengan Induksi, Deduksi da Silogisme?
II.                PEMBAHASAN
1.      Pengertian Jalan Pikiran
Tujuan pemikiran manusia adalah mencapai pengetahuan yang benar dan sedpat mungkin pasti. Tetapi, dalam kenyataannya hasil pemikiran maupun alasan-alasan yang diajukan belum tentu selalu benar. Benar=sesuai dengan kenyataan, berarti jika yang dipikirkan itu betul-betul sesuai dengan kenyataannya. Dan begitu juga dengan “salah=tidak sesuai dengan kenyataan. Jadi dapat disimpulkan bahwa ukuran untuk menentukan suatu pemikiran itu benar atau salah.[1]
Pada dasarnya, orang dapat mengerti atau tahu mengenai suatu hal karena adanya suatu pemberitahuan atau karena seseorang tersebut melakukan suatu perenungan mengenai suatu hal. Yang hasil pengertiannya kemudian dicetuskan dalam sebuah putusan. Tindakan seseorang dalam mencapai sebuah putusan merupakan suatu rentetan tindakan dari putusan satu orang beralih pada keputusan baru yang seolah-olah putusan itu bergerak dari satu putusan ke putusan lain.  Kemudian tindakan manusia dengan budinya dari satu putusan kepada putusan lain dan inilah yang disebut dengan jalan pikiran. Sebagai contoh adalah “kota jakarta hujan disebabkan karena air laut dipesisir pantai kota jakarta meluap”. Jika pernyataan tersebut bersifat fakta atau sebenarnya maka jala pikiran itu dapat dikatakan sebagai jalan pikiran yang benar.[2]
2.      Menguji suatu Jalan Pikiran[3]
A.     Dalam menguji suatu pemikiran, kita dapat mengajukan  empat pertanyaan sbagai berikut :
1.      Apa yang hendak ditegaskan atau apa pokok pernyataan yang diajukan. Dan selanjutnya hal inilah yang akan kita jadikan sebagai kesimpulan.
2.      Atas dasar apa seseorang tersebut sampai pada kesimpulan seperti itu?apa alasan-alasannya dan apa titik pangkalnya? (dalam istilah teknis disebut premis-premisnya).
3.      Bagaimana jalan pikiran yang mengaitkan alasan-alasan yang diajukan dan kesimpuln yang ditarik?bagaimana langkah-langkahnya?apakah kesimpulan itu sah yang memang dapat ditarik kesimpulan dari alasan-alasan itu?
4.      Apakah kesimpulan atau penjelasan itu benar ? apakah pasti?atau hanya mungkin benar?

Sebagai alat untuk membantu pengujian suatu pikiran, maka sangat penting untuk menyusun skema jalan pikiran sehingga tampak jelas mana yang merupakan kesimpulan dan mana yang merupakan alasan serta bagaimana orang tertentu menarik kesimpulan tertentu dari alasan-alasan yang telah dipaparkan.
Sebagai contoh adalah :
Seorang anak tenggelam disungai kemudian diangkat ke daratan dalam keadaan pingsan. Kemudian tetangga yang melihatnya berkata :”Ia tidak bernafas lagi”. Kemudian Ibunya menangi dan berkata, “anakku mati”. Sehingga dapat dirumuskan secara singkat bahwa : Dia tidak bernafas lagi berarti dia telah mati.
      Pokok pernyataan : Dia = mati
      Alasan/premis = tidk bernafas lagi
            Hubungan = karena ia tak bernapas lagi, maka Ia dikatakan sudah mati. Titik pangkal (yang secara implisit menjadi landasan untuk menarik kesimpulan bahwa dia sudah mati). Barang siapa sudah tidak bernapas, berarti dia sudah mati ( bernapas adalah tanda kehidupan, maka jika sudah tidak bernapa maka sudah mati).
B.     Tiga Syarat pokok pemikiran[4]
a.       Suatu pemikiran harus berangkat dari kenyataan atau titik pangkalnya harus benar.
Meskipun jalan pikirannya logis, jika dalam suatu pemikiran tidak berpangkal dari kenyataan atau dalil yang benar tentu tidak aka mengahasilkan kesimpulan yang benar pula. Sebagai contoh adalah : kalau terjadi longsor, pohon-pohon akan tumbang. Hal ini merupakan hubungn yang logis, namun pada kenyataannya, walaupun tidak terjadi tanah longsorpun pohon akan tumbang. Semisal karena kondisi pohon yang sudah tua lalu ditiup angin yang sangat kencag. Hal itu juga akan mengakibatkan pohon itu tumbang.
Perlu dibedakan antara kepastian subjektif (saya merasa pasti) dengan kepastian objektif (fakta yang memang demikian atau yang ada). Perasaan subjektif belumlah merupakan bukti bahwa sesuatu tentu benar.
b.      Alasan-alasan yang diajukan harus tepat dan kuat.
Ada banyak hal yang dapat dibuktikan dengan menunjukan fakta yang ada saja. Tetapi lebih banyak lagi hal yang dibuktikan dengan suatu pemikiran yang merupakan suatu rangkaian langkah-langkah yang disusun secara logis menjadi suatu jalan pikiran.
c.       Jalan pikiran harus logis dan lurus.
Jika titik pangkal memang tepat dan benar tetapi jalan pikiran (urutan langkah-langkah) tidak tepat, maka kesimpulan yang akan dihasilkan juga tidak akan tepat dan benar. Jika hubungan keduanya tepat dan benar maka kesimpulannya akan sah (valid).
3.      Pengertian Induksi dan Deduksi
a.       Induksi
Dari satu kali pengalaman saja seorang manusia dapat mengetahui pengetahuan tentang hal itu. Pengetahuan khusus ini dapat juga berulangkali yang kemudian dengan pengetahuan dasar tersebut seorang manusia dapat mengembangkan dari pengetahuan khusus itu pada pengetahuan yang lebih luas atau lebih umum. Hal inilah yang dinamakan dengan induksi.[5]
Secara garis besar, Induksi dapat diartikan sebagai proses pemikiran di dalam akal kita dari pengetahuan tentang kejadian atau peristiwa yang bersifat konkret atau khusus untuk menyimpulkan pengetahuan yang bersifat lebih umum.
Induksi dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
·         Induksi Sempurna
Suatu pemikiran dapat dikatakan sebagai induksi sempurna jika putusan umum itu merupakan perjumlahan dari putusan khusus. Sebagai contoh adalah : dari masing-masing mahasiswa fakultas Ushuluddin, diketahui bahwa Ia warga negara Indonesia. Maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa semua mahasiswa fakultas Ushuluddin adalah warga negara Indonesia.
·         Induksi tidak sempurna
Induksi ini berlaku jika dalam mengambil sebuah putusan umum bukan hasil dari penjumlahan khusus melainkan, seakan-akan loncatan dari yang khusus ke umum. Sebagai contoh adalah hukum alam alam pada pembekuan air. Secara teori, ilmu tidak ragu-ragu dalam menyimpulkan hal tersebut.
Bahaya yang melekat pada jalan pikiran Induksi adalah bahwa kita terlalu cepat dalam mengambil sebuah kesimpulan umum tanpa memperhatikan apakah mempunyai dasar yang cukup untuk kmenarik kesimpulan itu atau bisa juga menganggap pasti sesuatu yang belum pasti. Hal ini dapat dikatan sebagai generalisasi yang tergesa-gesa.
Dalam ilmu  statistik dipelajari secar ilmiah syarat-syarat  yang harus dipenuhi agar dari jumlah kejadian yang kecil , kita bisa menarik kesimpulan yang berlaku umum tanpa melanggar kebenaran. Yang perlu diperhatikan adalah apakah sample yang digunakan sebagai landasan untuk menarik sebuah kesimpulan umum itu cukup representatif (mewakili) bagi keseluruhan.
b.      Deduksi
Deduksi merupakan kebalikan dari Induksi. Secara teori deduksi dapat diartikan sebagai proses pemikiran akal kita dari pengetahuan yang bersifat umum untuk menyimpulkan pemikiran yang lebih khusus.[6] Sebagai contoh adalah : jika seseorang mempunyai putusan khusus bahwa si A akan mati, karena Ia manusia. Sebenarnya jalan pikirannya adalah dari putusan umum : semua manusia akan mati, si A pun adalah manusia sehingga Ia pasti mati. Putusan bahwa si A akan mati adalah suatu putusan yang dicapai seseorang secara deduktif  atau melalui deduksi.
Dalam penjelasannya mengenai deduksi terdapat dua jenis deduksi, yaitu :
·         Deduksi sistem tertutup
Sebagai contoh deduksi jenis ini adalah : gambar ini adalah gambar jajaran genjang, jadi sisi-sisinya yang berhadapan adalah sama. Pemikiran tersebut dapat didasarkan pada definisi jajaran genjang itu sendiri dimana jajaran genjang mempunyai empat segi dan sisinya yang berhadapan sejajar. Dengan menerima semua dalil dan batasan tentang garis lurus dan sejajar maka dengan rangkaian langkah-langkah dapat dibuktikan bahwa sisinya sisinya yang berhadapan itu sama. Contoh tersebut merupakan deduksi tertutup karena sekali diketahui aturan-aturannya, maka dengan jalan pikiran yang logis dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan yang sungguh-sungguh pasti. Tidak akan ada sesorang yang dapat menggoyangkan kesimpulan atau putusan tersebut.
·         Deduksi sistem terbuka
Suatu kesimpulan dapat bersifat pasti jika kita tahu dengan positif dan tanpa ragu-ragu bahwa kesimpulannyang ditarik itu benar. Bila kesimpulan tidak pasti , kita hanya bisa mengatakan itu mungkin. Seringkali kita harus menerima bahwa pengetahuan kita hanya sementara saja, hanya mungkin, sangat mungkin atau hampir pasti.
Berbicara mengenai deduksi sistem terbuka, tidak semua putusan dapat dipastikan seperti ilmu pasti. Selalu ada kemungkinan informasi dari luar yang mungkin mengubah keputusan atau keputusan yang telah diambil. Kesimpula yang telah diambil atas kejadian-kejadian yang konkret dan terbuka utnuk pengaruh dari luar tidak dapat mencapai tingkat kepastian yang sama seperti kesimpulan-kesimpulan yang diambil dengan jalan deduksi sistem tertutup.
III.             PENUTUP

·         Tujuan pemikiran manusia adalah mencapai pengetahuan yang benar dan sedpat mungkin pasti. Tetapi, dalam kenyataannya hasil pemikiran maupun alasan-alasan yang diajukan belum tentu selalu benar. Benar=sesuai dengan kenyataan, berarti jika yang dipikirkan itu betul-betul sesuai dengan kenyataannya. Dan begitu juga dengan “salah=tidak sesuai dengan kenyataan. Jadi dapat disimpulkan bahwa ukuran untuk menentukan suatu pemikiran itu benar atau salah.
·         Sebagai alat untuk membantu pengujian suatu pikiran, maka sangat penting untuk menyusun skema jalan pikiran sehingga tampak jelas mana yang merupakan kesimpulan dan mana yang merupakan alasan serta bagaimana orang tertentu menarik kesimpulan tertentu dari alasan-alasan yang telah dipaparkan.



















DAFTAR PUSTAKA
Dr. W. Poespoprodjo dan DRS. EK. T. Gillarso, Logika Ilmu Menalar, Bandung : Pustaka Grafika, 1999.
Prof. Dr. Poedjawidjatna, Logika Filsafat Berpikir, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1992.



[1] Dr. W. Poespoprodjo dan DRS. EK. T. Gillarso, Logika Ilmu Menalar, Bandung : Pustaka Grafika, 1999, hlm. 18.
[2] Prof. Dr. Poedjawidjatna, Logika Filsafat Berpikir, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1992, hlm. 70.
[3] Op. Cit.,
[4] Ibid,.
[5] Prof. Dr. Poedjawidjatna, Op. Cit., hlm. 70.
[6] Dr. W. Poespoprodjo dan DRS. EK. T. Gillarso, Op. Cit.,hlm. 22.

tafsir ayat solawat

I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Alquran merupakan petunjuk dan undang-undang yang  harus ditaati dan diamalkan oleh setiap muslim. Allah menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul-Nya yang sebaik-baiknya teladan hidup bagi umat Islam.
Salah satu tugas penting Rasulullah saw. adalah membimbing ummatnya ke jalan yang lurus (agama Islam), demi kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat kelak. Oleh karena itu, keingkaran terhadap Rasulullah saw. termasuk dosa besar. Sedangkan keimanan terhadapnya dan melaksanakan segala perintahnya termasuk ibadah yang bernilai amal shaleh.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan solawat?
2.      Bagaimanakah tafsir ayat Al-Qur’an mengenai Solawat?

II.                PEMBAHASAN
A.    Pengertian Solawat
Term shalawat (صلوات) berasal dari akar صلي، يصلي yang terdiri atas huruf; al-shâd, lâm dan huruf mu’tal al-yâ’u, yang artinya; جنس من العبادة  ,(salah satu jenis rangkaian ibadah). Kemudian, term tersebut berubah menjadi mashdar dalam bentuk صلاة yang secara etimologi berarti doa. Sedangkan kata doa berakar kata dari دعا-يدعو-دعوة yang berarti ajakan, seruan, panggilan untuk mendekatkan diri. [1] Dengan demikian, secara etimologi dapat dinyatakan bahwa orang yang bershawalat berarti ia ingin mendekatkan diri kepada sesuatu yang dijadikan obyeknya. bn Katsîr menjelaskan bahwa shalawat Allah swt. terhadap manusia tersebut mengindikasikan adanya perolehan rahmat,[2] atau melimpahkan rahmat-Nya kepada manusia. Dari sini, dapat diklasifikasi bahwa shalawat Allah swt. kepada hamba-Nya terdiri atas dua kategori. Yakni, shalawat khusus dan shalawat umum. Shalawat khusus adalah shalawat Allah terhadap Rasul-Nya, para Nabi-Nabi-Nya. Sedangkan shalawat umum adalah shalawat Allah swt. kepada hamba-Nya.
Jelaslah bahwa shalawat Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. merupakan shalawat khusus. Dalam pengertian, Allah swt. memuji Muhammad saw., melahirkan keutamaan dan kemuliannya, serta memuliakan dan mem-perdekatkan Muhammad saw. kepada diri-Nya.
Perlu dipahami bahwa dengan bershalawatnya Allah swt. kepada hamba-Nya, khususnya kepada Nabi Muhammad saw. merupakan tamstîl sebagai suri tauladan yang harus diikuti.
Selanjutnya, mengenai pengertian shalawat ummat Muhammad saw. terhadap beliau adalah mengakui kerasulannya serta memohon syafaat dan mendekatkan dari kepada Allah swt.[3] Jadi, pengakuan terhadap kerasulan Muhammad saw. bukan saja diikrarkan dengan pengucapan syahadat, tetapi lebih dari itu dituntut untuk di-muliakan beliau dengan cara bershalawat terhadapnya.
Terdapat banyak  lafal-lafal solawat untuk Nabi Muhammad SAW.  , namun yang paling populer adalah sebagai berikut :
Lafal-lafal shalawat yang dikemukakan dalam sub bahasan ini adalah lafal-lafal shalawat untuk Nabi saw. dari umatnya. Yakni, antara lain yang sangat populer adalah ;
1.      صلي الله علي محمد;(semoga Allah swt. melimpahkan tambahan rahmat kepada Nabi Muhammad saw)
2.      اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك جميد مجيد;
(Ya Allah, berilah tambahan rahmat kepada Nabi Muhammad saw., keluarga beliau, sebagaimana Engkau telah memberi rahmat atau Nabi Ibrahim as, keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Agung)
3.      اللهم صل على محمد ; (Ya Allah. limpahkan rahmat atas Nabi Muhammad saw)
4.      Ungkapan-ungkapan lainnya yang mengandung doa dan penghormatan untuk Nabi saw. guna mendekatkan diri kepada Allah swt.[4]
Lafal-lafal shalawat yang disebutkan di atas, dianjurkan untuk direalisasikan dalam kehidupan. Dalam kitab Irsyad al-Ibâd Ilâ Sabîl al-Irsyad dikemukakan bahwa bahwa orang lalai membaca shalawat merupakan salah satu ciri orang yang melalaikan ajaran agama.[5] Konsekuensi ini merupakan ketetapan agama. Hal tersebut dikarenakan shalawat merupakan rangkaian ibadah, dimana manusia diciptakan hanyalah untuk beribadah. Allah swt berfirman ; “Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada (Ku)”.
Dalam beribadah dituntut untuk ikhlas dan khusyu’, tetapi walaupun shalawat termasuk ibadah tidaklah terlalu dituntut untuk khusyu. Hal demikian disebabkan agar seorang hamba terlatih untuk me-realisasikan shalawat dalam kehidupannya.
Yang jelas perealisasian shalawat untuk Nabi saw. adalah fardhu. Hal ini disebabkan adanya perintah Allah swt. dalam QS. al-Ahzâb (33):56 kepada orang mu’min untuk bershalawat kepada Nabi saw, yakni ;”… Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam peng-hormatan kepadanya.”
Dari firman di atas, diinformasikan bahwa ruang dan waktu untuk merealisasikan shalawat tidak terbatas, di samping itu, dengan bersahalawat dalam segala ruang dan waktu juga merupakan wujud keimanan seorang muslim terhadap Allah swt., dan wujud kecintaan seorang muslim terhadap Nabi saw.
B.     tafsir ayat Al-Qur’an mengenai Solawat
Karena shalawat tergolong dalam salah satu amalan ibadah, maka tentu ditemukan dalil-dalilnya di dalam Alquran. Berikut ini, dikemukakan dalil-dalilnya atau ayat-ayat yang dimaksud ;
1. QS. al-Baqarah (2): 157
y7Í´¯»s9'ré& öNÍköŽn=tæ ÔNºuqn=|¹ `ÏiB öNÎgÎn/§ ×pyJômuur ( šÍ´¯»s9'ré&ur ãNèd tbrßtGôgßJø9$# ÇÊÎÐÈ  
Artinya :
‘Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk’
Dikatakan bahwa ayat di atas berkenaan dengan shalawat, karena ditemukan kata “صلوات” di dalamnya yang berarti “berkah”[6]dimana telah dikemukakan terdahulu bahwa shalawat dapat diartikan dengan berkah.
2. QS. al-Baqarah (2): 239

÷bÎ*sù óOçFøÿÅz »w$y_̍sù ÷rr& $ZR$t7ø.â ( !#sŒÎ*sù ÷LäêYÏBr& (#rãà2øŒ$$sù ©!$# $yJx. Nà6yJ¯=tæ $¨B öNs9 (#qçRqä3s? šcqãKn=÷ès? ÇËÌÒÈ  
Artinya :;
‘Peliharalah semua shalat (mu) dan (periharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusu’.
Dikatakan bahwa ayat di atas berkenaan dengan shalawat, karena ditemukan kata “صلوات” di dalamnya yang berarti “shalat-shalat”dimana telah dikemukakan terdahulu bahwa shalawat dapat diartikan dengan ibadah, sementara shalat merupakan salah satu ibadah.
3. QS. al-Taubah (9): 99;

šÆÏBur É>#tôãF{$# `tB ÚÆÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# äÏ­Gtƒur $tB ß,ÏÿZムBM»t/ãè% yYÏã «!$# ÏNºuqn=|¹ur ÉAqߧ9$# 4 Iwr& $pk¨XÎ) ×pt/öè% öNçl°; 4 ÞOßgè=Åzôãy ª!$# Îû ÿ¾ÏmÏFuH÷qu 3 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî ×LìÏm§ ÇÒÒÈ  
Artinya :
‘Dan di antara orang-orang Arab Badui itu, ada orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) sebagai jalan mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh do’a Rasul. Ketahuilah sesungguhnya nafkah itu suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). kelak Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’
Dikatakan bahwa ayat di atas berkenaan dengan shalawat, karena ditemukan kata “صلوات” di dalamnya yang berarti “doa”dimana telah dikemukakan terdahulu bahwa shalawat dapat diartikan dengan doa.
5.      QS. Al-Ahzab ayat 56 :
¨bÎ) ©!$# ¼çmtGx6Í´¯»n=tBur tbq=|Áムn?tã ÄcÓÉ<¨Z9$# 4 $pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#q=|¹ Ïmøn=tã (#qßJÏk=yur $¸JŠÎ=ó¡n@ ÇÎÏÈ  
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi; wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu kepadanya dan ucapkan salam kepadanya.” (Al-Ahzab/33: 56)
Ulama dari kalangan mazhab Ahlul bait (sa) sepakat bahwa ayat ini diturunkan untuk menegaskan hak Rasulullah saw dan Ahlul baitnya (sa), yaitu perintah bershalawat kepada mereka dan cara bershalawat. Ulama Ahlussunnah juga sepakat kecuali hanya beberapa penulis.
Yakni Allah memuji Beliau di hadapan para malaikat, karena Allah cinta kepada Beliau, para malaikat yang didekatkan pun memuji Beliau serta mendoakannya.
Karena mengikuti Allah dan para malaikat-Nya serta sebagai balasan terhadap jasanya, sekaligus untuk menyempurnakan iman kita, sebagai bentuk pemuliaan terhadap Beliau, penghormatan dan kecintaan kepada Beliau serta untuk menambah kebaikan kita, menghapuskan kesalahan kita. Ucapan shalawat dan salam yang terbaik adalah yang Beliau ajarkan kepada para sahabatnya, yaitu yang biasa kita baca dalam tasyahud. Bershalawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam diperintahkan dalam setiap waktu, terutama sekali ketika nama Beliau disebut, dalam shalat setelah tasyahhud, takbir kedua dalam shalat janazah, masuk dan keluar masjid, dalam qunut witir, pada siang dan malam Jum’at, setelah mendengar azan, dalam dzikr pagi dan petang, dan sebelum berdoa, dan duduk di suatu majlis (sebagaimana diterangkan dalam beberapa hadits). Demikian pula dalam khutbah dan mukaddimah (pengantar).[7]
Setelah Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan untuk memuliakan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, bershalawat dan mengucapkan salam kepada Beliau, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala melarang menyakitinya dan mengancam orang yang menyakitinya sebagaimana dalam firman-Nya di atas.
III.             PENUTUP
Demikianlah makalah yang telah penulis paparkan. Penulis menyadari bahwa masih banyak sekali kekurangan yan ada dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan megharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk dijadikan bahan evaluasi bagi penulis.

DAFTAR PUSTAKA

Abîy al-Husayn Ahmad bin Fâris bin Zakariyah, Mu’jam Maqâyis al-Lugah, juz III (Cet.II; t.t.: Al-Maktabah al-Manâzi’, 1980 M./ 1390 H.)
Imâd al-Dîn Abû al-Fidâ Ismail ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm al-Musamma Tafsîr Ibn Katsîr, juz III (Semarang: Toha Putra, t.th.)
Fatahuddin Abul Yasin, Kumpulan Sholawat Nabi saw Beserta Hikmah dan Khasiatnya (Surabaya: Terbit Terang, 2000)
Muhammad ‘Âli ali bin Muhammad al-Syaukâniy, Fath al-Qadîr Jâmi’ Bay al-Fanniy al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, juz IV ((Cet.I; Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994)
Muhammad Ali al-Kurdi, Irsâd al-Ibâd Ilâ Sabîl al-Irsyâd diterjemahkan oleh H. Salim Bahresy dengan judul Petunjuk Jalan Lurus (Surabaya: Darussagaf, 1997)
Imâd al-Dîn Abû al-Fidâ Ismâil Muhammad Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, juz I (Semarang: Toha Putra, t.th.)



[1] Abîy al-Husayn Ahmad bin Fâris bin Zakariyah, Mu’jam Maqâyis al-Lugah, juz III (Cet.II; t.t.: Al-Maktabah al-Manâzi’, 1980 M./ 1390 H.), h. 300
[2] Imâd al-Dîn Abû al-Fidâ Ismail ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm al-Musamma Tafsîr Ibn Katsîr, juz III (Semarang: Toha Putra, t.th.), h. 506
[3] Fatahuddin Abul Yasin, Kumpulan Sholawat Nabi saw Beserta Hikmah dan Khasiatnya (Surabaya: Terbit Terang, 2000), h.6
[4] Muhammad ‘Âli ali bin Muhammad al-Syaukâniy, Fath al-Qadîr Jâmi’ Bay al-Fanniy al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, juz IV ((Cet.I; Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994), h. 379.
[5] Muhammad Ali al-Kurdi, Irsâd al-Ibâd Ilâ Sabîl al-Irsyâd diterjemahkan oleh H. Salim Bahresy dengan judul Petunjuk Jalan Lurus (Surabaya: Darussagaf, 1997), h. 433
[6] Imâd al-Dîn Abû al-Fidâ Ismâil Muhammad Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, juz I (Semarang: Toha Putra, t.th.), h. 197.
[7] Ibid., hlm.205