A. Pendahuluan
Dr. Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah dalam al-Isra'iliyat wa al-Maudu'at fî Kutub at-Tafsir, menjelaskan bahwa ilmu tafsir adalah ilmu yang
paling mulia. Hal ini dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, objek
kajian. Objek kajian ilmu tafsir adalah Alquran, firman Allah. Tidak ada
ungkapan paling mulia, paling benar, dan penuh dengan hikmah dan petunjuk,
kecuali Alquran yang diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw. Kedua,
tujuan kajian. Tujuan ilmu tafsir adalah berpegang teguh pada tuntunan Allah,
guna mendapat keselamatan di dunia dan akhirat. Ketiga, kebutuhan.
Kesempurnaan agama dan duniawi butuh pada ilmu-ilmu syariat, dan sumber ilmu
syariat adalah Alquran.[1][1]
Menurutnya
lagi, tafsir
sendiri bermakna ilmu yang membahas keadaan Alquran dari segi tujuan Allah
(dalam ayat-ayat-Nya), dan dari segi kemukjizatannya, dengan kadar kemampuan
manusia yang memahaminya.[2][2]
Dari sini,
tafsir adalah penjelasan Alquran. Alquran yang terkadang bersifat umum, susah
dipahami, memiliki berbagai kemungkinan, perlu adanya penjelasan lebih lanjut,
supaya Alquran dapat dicerna oleh seluruh kalangan dan dijadikan rujukan dan
panduan dalam kehidupan.
Banyak orang
mencari dan bertanya tentang kitab tafsir yang paling baik penafsirannya,
paling baik sistematika pembahasannya, dan paling baik dan mudah dimengerti
bahasanya. Jika dilihat dalam tafsir-tafsir klasik, hal-hal ini susah didapati.
Salah satu kitab tafsir dapat menjawab kebutuhan orang banyak ini, adalah Tafsir
al-Munir: fi al-`Aqidah wa asy-Syari`ah wa al-Manhaj, Sebuah kitab tafsir
kontemporer yang disusun oleh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili.
Dalam artikel
yang terbatas ini, penulis akan berusaha membahas latar belakang penulis
tafsir, metodologi yang digunakan, corak penafsiran yang digunakan, contoh
penafsiran, komentar ulama, dan analisis kelebihan dan kelemahan.
B. Latar Belakang Intelektual Penulis
Nama pengarang Tafsir
al-Munir adalah Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa az-Zuhaili Abu `Ubadah. Ia
dilahirkan di kawasan Dir `Athiyah[3][3] pada tanggal 6 Maret 1932 dari orang tua yang terkenal dengan kesalehan
dan ketakwaannya. Ayahnya, Musthafa az-Zuhaili,[4][4] adalah seorang penghafal Alquran dan banyak melakukan kajian terhadap
kandungannya. Ibunya bernama Fathimah binti Musthafa Sa`dah,[5][5] dikenal dengan sosok yang kuat berpegang teguh pada ajaran agama.[6][6]
Lazimnya
anak-anak pada saat itu, Wahbah kecil belajar Alquran dan menghafalnya dalam
waktu relatif singkat. Setelah menamatkan sekolah dasar, ayahnya menganjurkan
kepada Wahbah untuk melanjutkan sekolah di Damaskus. Pada tahun 1946, Wahbah
pindah ke Damskus untuk melanjutkan sekolah ke tingkat Tsanawiyah dan Aliyah.
Setelah itu, Wahbah melanjutkan ke perguruan tinggi dan meraih gelar sarjana
mudanya di jurusan Ilmu-ilmu Syari`ah di Syuria.[7][7]
Dalam menuntut
ilmu, Wahbah tidak memadakan di negrinya sendiri. Ia harus mencari universitas
yang lebih baik. Untuk itu, ia pendah ke Mesir, dan kuliyah di dua universitas
sekaligus: Universitas Al-Azhar, jurusan Syari`ah dan Bahasa Arab; dan
Universitas Ain Syams, jurusan Hukum. Setelah menyelesaikan kuliyah di dua
universitas tersebut, Wahbah melanjutkan pada jenjang berikutnya, program
magister Universitas Cairo, jurusan Hukum Islam. Hanya dalam waktu dua tahun,
Wahbah menyelesaikan program magisternya dengan judul tesis adz-Dzara’i` fi
as-Siyasah asy-Syar`iyyah wa al-Fiqh al-Islamiy.[8][8]
Semangat
menuntut ilmu Wahbah tidak putus, ia melanjutkan pendidikannya sampai jenjang
doktoral. Dengan judul penelitian Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islamiy:
Dirasatan Muqaranatan, ia berhasil menyelesaikan program doktoralnya pada
tahun 1963. Majlis sidang pada saat itu terdiri dari ulama terkenal, Syaikh
Muhammad Abu Zahrah, dan Dr. Muhammad Hafizh Ghanim (Menteri Pendidikan Tinggi
pada saat itu). Majlis sidang sepakat untuk menganugrahkan Wahbah predikat
“Sangat Memuaskan” (Syaraf ula), dan merekomendasikan disertasinya layak
cetak serta dikirim ke universitas-universitas luar negri.[9][9]
Untuk menjadi
ulama segudang ilmu, mestilah memiliki banyak guru. Begitu juga dengan Wahbah.
Di antara gurunya:[10][10]
- Syaikh Muhammad Hasyim al-Khatib asy-Syafi`i. Ia adalah ulama fikih, khatib tetap Masjid al-Umawi dan salah seorang pendiri Jam`iyah at-Tahzib wa at-Ta`lim di kota Damaskus.
- Syaikh Abd ar-Razzaq al-Himshy. Ia adalah seorang ulama fikih dan menjabat sebagai Mufti Republik Syiria pada tahun 1963.
- Syaikh Muhammad Yasin. Ia adalah ulama dan tokoh kebangkitan kajian sastra dan gerakan persatuan ulama di Syria.
- Jaudah al-Mardini. Ia pakar pendidikan dan pengajaran, pernah menjabat sebagai kepala sekolah al-Kamaliyah dan kepala administrasi di Madrasah Aliyah Syari`ah di Damaskus.
- Syaikh Hasan asy-Syathi. Ia adalah pakar fikih Hanbali dan pernah menjabat sebagai rektor pertama Universitas Damaskus.
- Syaikh Hasan Habannakeh. Ia termasuk sebagai pendiri Rabithah al-Alam al-Islami di Makkah al-Mukarramah.
- Syaikh Muhammad Shalih Farfur. Pakar pendidikan ini adalah pendiri Jam`iyah al-Fath al-Islamiy.
- Syaikh Muhammad Lithfi al-Fayyumi. Aktifis pembentukan Ikatan Ulama di Damaskus ini adalah pakar dalam bidang Fikih Hanafi.
- Syaikh Mahmud ar-Rankusi Ba’yun. Ia adalah direktur Dar al-Hadis al-Asyrafiyah.
Ini semua
adalah guru-guru Wahbah yang berada di Damaskus Syria. Sedangkan guru-gurunya
yang berada di Mesir: Universitas Al-Azhar dan Universitas `Ain Syams, di
antaranya:[11][11]
- Syaikh Muhammad Abu Zahrah. Wahbah banyak dipengaruhi oleh gaya pemikiran Muhammad Abu Zahrah ini. Abu Zahrah adalah ulama terkenal di Mesir, dan memiliki banyak buku termasuk tafsir: Tafsir az-Zuhrah.
- Syaikh Mahmud Syaltut. Ia adalah salah seorang Syaikh Al-Azhar, dan salah satu tokoh pembaru dalam berbagai bidang ke-Islaman, termasuk pendidikan di Al-Azhar. Mahmud Syaltut sendiri terpengaruh oleh pemikiran Muhammad Abduh.
- Syaikh Dr. Abd ar-Rahman Taj.
- Syaikh `Isa Mannun.
- Syaikh Ali Muhammad al-Khafif.
- Syaikh Jadurrab Ramadhan.
- Syaikh Mahmud Abd ad-Daim.
- Syaikh Abd al-Ghani Abdul Khaliq.
- Syaikh Musthafa Abdul Khaliq.
- Syaikh Abdul Maraziqi.
- Syaikh Zhawahir asy-Syafi`i
- Syaikh Musthafa Mujahid.
- Syaikh Hasan Wahdan.
- Syaikh Muhammad Salam Madkur.
- Syaikh Muhammad Hafizh Ghanim.
Dr. Badi`
as-Sayyid al-Lahham menceritakan, bahwa karya Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily ini
lebih dari 200 buah: mulai dari buku yang terdiri dari 16 jilid, sampai
artikel-artikel kecil.[12][12] Dalam kesempatan ini, penulis hanya menjelaskan secara singkat dua
karyanya yang monumental: al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu dan Tafsir
al-Munir, sebagai berikut:[13][13]
- Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, adalah kitab fikih kontemporer yang sangat penting dalam pengkajian fikih komparatif. Buku ini untuk pertama kalinya dicetak oleh Dar al-Fikr di Damaskus pada tahun 1984, awalnya terdiri dari 9 jilid besar, namun, untuk cetakan terakhir, buku ini telah disempurnakan hingga menjadi 11 jilid besar. Buku ini adalah buku yang paling monumental dari Wahbah, karena beliau sendiri adalah pakar hukum Islam. Buku ini sangat enak dibaca, karena menggunakan bahasa yang mudah dicerna, bahkan untuk orang `ajam, selain itu, buku ini juga memiliki sistematika penulisan yang sangat rapi, ilmiah, sehingga memudahkan para pembaca untuk menikmatinya. Yang lain, buku ini dilengkapi dengan kutipan yang terpercaya dari setiap mazhab yang ada. Hal ini dijelaskan sendiri oleh Wahbah dalam muqaddimah bukunya tersebut. Wahbah menjelaskan:
“Tidak diragukan lagi bahwa umat
Islam saat ini sangat butuh pada kitab fikih yang ditulis dengan metode
kontemporer; bahasa yang mudah dipahami, susunan pembahasan yang sistematis,
dijelaskan tujuannya, dan dikuatkan setiap pernyataan ijtihad ulama dengan
rujukan yang terpercaya, serta mudah bagi para pelajar untuk merujuk kepada
pokok pembahasan yang sedang mereka cari sehingga layak untuk dimasukkan dalam
rancangan perundang-undangan...”[14][14]
- At-Tafsir al-Munir: fi al-`Aqidah wa asy-Syari`ah wa al-Manhaj. Buku ini yang menjadi pembahasan dalam makalah ini. Buku ini terdiri dari 16 jilid besar, tidak kurang dari 10.000 halaman. Untuk pertama kali, kitab ini diterbitkan pada tahun 1991 oleh Dar al-Fikr Damaskus. Sebagaimana buku fikihnya, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, ditulis dengan tujuan untuk memudahkan para pengkaji ilmu ke-Islaman, begitu juga dalam penulisan tafsirnya ini. Wahbah menjelaskan dalam muqaddimah tafsirnya:
“Tujuan utama dalam penulisan kitab
ini adalah mengikat umat Islam dengan Alquran yang merupakan firman Allah
dengan ikatan yang kuat dan ilmiah. Sebab, Alquran adalah pedoman dan aturan
yang harus ditaati dalam kehidupan manusia. Konsern saya dalam kitab ini bukan
untuk menjelaskan permaslahan khilafiyah dalam bidang fikih, sebagaimana
dikemukakan para pakar fikih, akan tetapi sayang ingin menjelaskan hukum yang
dapat diambil dari ayat Alquran dengan maknanya yang lebih luas. Hal ini akan
lebih dapat diterima dari sekedar menyajikan maknanya secara umum. Sebab
Alquran mengandung asfek aqidah, akhlak, manhaj, dan pedoman umun serta
faedah-faedah yang dapat dipetik dari ayat-ayat-Nya. Sehingga setiap
penjelasan, penegasan, dan isyarat ilmu pengetahuan yang terekam di dalamnya menjadi
instrumen pembangunan kehidupan sosial yang lebih baik dan maju bagi masyarakat
modern secara umum saat ini atau untuk kehidupan individual bagi setiap
manusia.”[15][15]
C. Metode Penafsiran
Munurut pakar
tafsir al-Azhar University, Dr. Abdul Hay al-Farmawi, setidaknya, dalam
penafsiran Alquran dikenal empat macam metode tafsir, yakni metode tahlili,
metode ijmali, metode muqaran, dan metode maudhu’i.[16][16]
Metode tafsir tahlili merupakan cara menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan mendeskripsikan
uraian-uraian makna yang terkandung
dalam ayat-ayat Alquran dengan mengikuti tertib susunan surat-surat dan
ayat-ayat Alquran itu sendiri dengan sedikit banyak melakukan analisis di
dalamnya.[17][17]
Metode tafsir Ijmali adalah cara menafsirkan Alquran menurut susunan (urutan) bacaannya dengan
suatu penafsiran ayat demi ayat secara sederhana yang akan dapat dipahami
orang-orang tertentu dan selainnya dengan tujuan mendapatkan pemahaman dengan
cara yang ringkas.[18][18]
Metode tafsir muqaran adalah tafsir yang dilakukan dengan cara membanding-bandingkan ayat-ayat
Alquran yang memiliki redaksi berbeda padahal isi kandungannya sama, atau
antara ayat-ayat yang memiliki redaksi yang mirip padahal isi kandungannya
berlainan atau juga ayat-ayat Alquran yang selintas tampak berlawanan dengan
hadis, padahal pada hakikatnya sama sekali tidak bertentangan.[19][19]
Adapun metode tafsir maudhu’i adalah tafsir
yang membahas tentang masalah-masalah
Alquran yang memiliki kesamaan makna atau tujuan dengan cara menghimpun
ayat-ayatnya, untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi
kandungannya menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat-syarat tertentu
untuk menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnya serta
menghubung-hubungkan antara yang satu dengan yang lain dengan korelasi yang
bersifat komprehensif.[20][20]
Sebenarnya,
sulit bagi penulis untuk menetapkan metode yang mana digunakan oleh Wahbah
dalam tafsirnya ini. Di beberapa tempat, Wahbah menggunkan metode tafsir
tematik (maudhu`i), di sisi yang lain, ia menggunakan metode
perbandingan (muqaran), namun, dalam banyak kesempatan ia menggunakan
metode tafsir analitik (tahlili). Agaknya, metode yang terakhir, metode
analitik, lebih cocok, karena metode inilah yang lebih dominan digunakan oleh
Wahbah dalam tafsirnya.
Untuk langkah
sistematika pembahasan dalam tafsirnya ini, Wahbah, menjelaskan dalam muqaddimah
tafsirnya, sebagai berikut:
- Mengklasifikasikan ayat Alquran – dengan urutan mushaf - yang ingin ditafsirkan dalam satu judul pembahasan dan memberikan judul yang cocok.
- Menjelaskan kandungan setiap surat secara global/umum.
- Menjelaskan sisi kebahasaan ayat-ayat yang ingin ditafsirkan, dan menganalisanya.
- Menjelaskan sebab turun ayat – jika ada sebab turunnya -, dan menjelaskan kisah-kisah sahih yang berkaitan dengan ayat yang ingin ditafsirkan.
- Menjelaskan ayat-ayat yang ditafsirkan dengan rinci.
- Mengeluarkan hukum-hukum yang berkaitan dengan ayat yang sudah ditafsirkan.
- Membahas kesusastraan dan i`rab ayat-ayat yang hendak ditafsirkan.[21][21]
Dalam pembacaan
penulis terhadap kitab Tafsir al-Munir, ada satu hal yang sangat
menarik, yang mungkin tidak disebutkan Wahbah dalam muqaddimahnya ini
adalah, ketika menafsirkan kumpulan ayat, Wahbah tidak lupa menjelaskan
korelasi (munasabat) antar ayat.
Wahbah juga
menjelaskan bahwa pada tempat-tempat tertentu, ia membahas ayat-ayat tertentu
dengan sistematika tafsir tematik/maudhu`i. Sebagai contoh ketika
menafsirkan ayat-ayat yang menceritakan tentang jihad, hukum kriminan, warisan,
hukum nikah, riba, khamar, dll.[22][22]
D. Corak Penafsiran
Menurut Quraish
Shihab, ada enam corak penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran yang dikenal
selama ini, yaitu:
1 Corak sastra
bahasa
2 Corak filsafat
dan teologi
3 Corak
penafsiran ilmiah
4 Corak fikih
atau hukum
5 Corak tasawuf
Sedangkan
Muhammad Amin Suma berpendapat, selain corak-corak di atas, ia menambahkan
beberapa corak lagi dalam penafsiran Alquran, yaitu: corak tarbawi
(Pendidikan) dan corak Akhlaqi.[24][24] Namun, dari
penjelasan ini, penulis tidak mendapatkan corak yang cocok untuk Tafsir
al-Munir ini.
Menurut Dr.
Abdul Hay al-Farmawi, dalam tafsir tahlili ada beberapa corak
penafsiran, yakni tafsir bi al-Ma`tsur, tafsir bi ar-Ray`,
tafsir ash-Shufi, tafsir al-Fiqhi, tafsir al-Falsafi,
tafsir al-`Ilmi, dan tafsir al-Adabi al-Ijtima`i.[25][25]
Dalam
menentukan corak tafsir dari suatu kitab tafsir, dalam hal ini adalah Tadsir
al-Munir, yang diperhatikan adalah hal yang dominan dalam tafsir tersebut.
Jika disejajarkan dengan pembagian corak tafsir yang diajukan oleh al-Farmawi,
tafsir ini lebih cocok diklasifikasi dalam penggabungan corak tafsir bi
al-ma’tsur dan tafsir bi ar-ra`y. Hal ini dikuatkan oleh
Dr. Badi` as-Sayyid al-Lahham, ia menjelaskan, “Dalam kitab ini Syaikh
Wahbah berusaha menggabungkan penafsiran bi al-ma’tsur dan bi
ar-ra’y dengan merujuk pada kitab-kitab tafsir klasik dan kontemporer....”[26][26]
E. Contoh Tafsiran
Dalam
pembahasan ini, penulis mengutip cuplikan Tafsir al-Munir, ketika
menafsirkan alif lam mim sebagai pendahuluan surat al-Baqarah. Wahbah
menjelaskan:
“Allah mendahului surat ini dengan huruf
muqaththa`ah sebagai pengingat terhadap sifat Alquran, dan isyarat
kemukjizatannya, sebagai tantangan terhadap orang yang ingin membuat Alquran
bahkan dengan surat yang terpendek sekalipun, sebagai penetap yang pasti bahwa
Alquran adalah firman Allah yang tidak ada sedikitpun campur tangan manusia.
Seolah-olah Allah berkata kepada orang Arab, “Bagaimana bisa kamu lemah untuk
menjadikan sepenggal surat yang semisalnya. Bukankah itu juga bahasa Arab, yang
terdiri dari huruf hijaiyah yang kamu kenal. Tetapi kamu lemah untuk membuat
semisalnya.” Ini adalah pendapat ulama muhaqqiqin yang mengatakan bahwa
peletakan huruf muqaththa`ah ini sebagai penjelasan kemukjizatan Alquran, dan
orang Arab lemah untuk meniru hal yang serupa, padahal kata itu juga terdiri
dari bahasa Arab yang mereka kenal.”[27][27]
Setelah itu,
Wahbah menuliskan hadis Rasul Saw. yang menjelaskan, “Siapa yang membaca
satu huruf dari Alquran, maka untuknya satu kebaikan yang dilipatgandakan
menjadi sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan alif lam mim satu huruf, tapi
alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi dari
Abdullah bin Mas`ud).[28][28] Hal ini menunjukkan bahwa, walaupun alif lam mim, mungkin tidak
memiki makna khusus, namun Allah juga menetapkan pahala bagi orang yang
membacanya.
Kemudian,
Wahbah menjelaskan tiga sifat Alquran: pertama, Alquran adalah kitab
yang sempurna, yang kandungannya – mulai dari makna, tujuan, kisah-kisah, dan
pensyariatah - tidak kurang sedikit pun. Kedua, tidak ada keraguan pada
Alquran sebagai firman Allah, tentunya bagi orang yang menkajinya secara
mendalam dan menggunakan mata hatinya. Ketiga, Alquran adalah sumber
hidayah dan petunjuk bagi orang yang beriman dan bertakwa, yang takut dengan
azab Allah, menjunjung tinggi perintah dan menjauhi larangan Allah.[29][29]
F. Komentar Ulama
Banyak komentar positif ulama dan pemikir
kontemporer tentang kitab Tafsir al-Munir ini. Dalam Pengantar
Penerjemah buku biografi Syaikh Wahbah, Dr. Ardiansyah menjelaskan,
“Tidaklah berlebihan kiranya saya mengatakan bahwa Syaikh Wahbah adalah ulama
paling produktif dalam melahirkan karya pada abad ini, sehingga dapat disamakan
dengan al-Imam as-Suyuthi. Demikian pula dengan sambutan luar biasa dari
kalangan akademisi dan masyarakat luar terhadap karya-karya monumentalnya
seperti al-Fiqh al-Islamiy wa Adillahtu, at-Tafsir al-Munir, dan Ushul
al-Fiqh, sehingga layak disamakan dengan karya-karya al-Imam an-Nawawi.
Prestasi dan keberhasilan yang langkah diraih oleh siapa pun pada masa sekarang
ini, merupakan anugrah dari Allah SWT, serta kesungguhan beliau dalam membaca,
menelaah, dan menulis.”[30][30]
Syaikh
Muhammad Kurayyim Rajih, dan ahli qira’at di Syam sangat memuji tafsir
al-Munir ini, dia berkata, “Kitab ini sungguh sangat luar biasa, sarat ilmu,
disusun dengan metode ilmiah, memberikan pelajaran layaknya seorang guru,
sehingga setiap orang yang membacanya memperoleh ilmu. Kitab ini layak dibaca
setiap kalangan, baik yang berilmu maupun orang awam. Mereka akan mendapatkan
inspirasi dari kitab ini dalam kehidupannya, sehingga ia tidak perlu lagi
merujuk kepada kitab-kitab yang lain.”[31][31]
Tidak
hanya sampai di situ, kitab ini juga dinikmati oleh kalangan Syi`ah. Hal ini
terbukti ketika kitab ini mendapat penghargaan “karya terbaik untuk tahun 1995
M” dalam kategori keilmuan Islam yang diselenggarakan oleh pemerintah Republik
Islam Iran.[32][32] Kitab ini juga disambut oleh berbagai negara dengan cara menerjemahkannya
dalam berbagai bahasa, seperti Turki, Prancis, Malaysia, dan menyusul
Indonesia.
G. Analisis Kelebihan dan Kelemahan
Banyak
sekali kelebihan tafsir ini, selain memiliki pengantar tafsir yang sangat
bermanfaat bagi setiap pembaca sebagai perbekalan ilmu untuk masuk dalam tafsir
Alquran. Pengantar itu berisikan seputar ilmu-ilmu Alquran, dari mulai
pengertian, sebab turun, kodifikasi, makkiyah madaniyah, rasm mushaf,
qiraat, i`jaz, sampai terjemahan Alquran.
Tafsir
ini mudah dicerna bahkan oleh orang asing (a`jami), karena bahasa yang
digunakan sangat sederhana, dan tidak seperti bahasa kitab-kitab klasik yang
terkadang memusingkan kepala. Selain itu, kitab ini disusun dengan sistematika
yang manarik, tidak amburadul, sehingga pembaca dengan mudah mencari apa yang diingikannya,
walaupun tidak membaca secara keseluruhan. Tafsir ini juga mengarahkan pembaca
pada tema pembahasan setiap kumpulan ayat-ayat yang ditafsirnya, karena tafsir
ini membuat sub bahasan dengan tema yang sesuai dengan ayat yang ditafsirkan.
Selain mengaitkan ayat dengan ayat yang semakna, melalui musabat dan lain-lain,
tafsir ini juga memudahkan bagi pembaca untuk mengambil kesimpulan hukum atau
hikmah yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, karena Wahbah
sendiri, di penghujung pembahasan, menyimpulkan ayat yang ditafsirkan dengan
pembahasan Fiqh al-Hayah au al-Ahkam.
Untuk
kelemahan, sulit bagi penulis untuk mencar kelemahan tafsir ini. Karena tafsir
ini adalah kumpulan dari buku-buku tafsir klasik dan kontemporer. Seolah-olah
pengarang menutup kekurangan yang ada dalam suatu tafsir dengan tafsir yang
lain, sehingga penafsirannya menjadi sempurna. Namun, satu hal yang mungkin
perlu disadari bahwa dengan menggabungkan tafsir-tafsir yang ada, seolah-olah
penulis tidak mengungkapkan suatu tafsiran baru yang sesuai dengan kehidupan
modern sekarang, dan ini adalah suatu kelemahan. Yang dilakukan oleh Wahbah
az-Zuhaily hanya mengutip dan melakukan sistematika pembahasan yang lebih rapi
dari tafsir-tafsir yang lain.
H. Penutup
Dari
pembahasan di atas, ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan bersama. Pertama,
nama tafsir ini adalah at-Tafsir al-Munir: fi al-`Aqidah wa asy-Syari`ah wa
al-Manhaj. Kitab ini dikarang oleh ulama kontemporer benama Prof. Dr.
Wahbah bin Musthafa az-Zuhaily, seorang ulama berasal dari Syria, dan pernah
“nyantri” di Al-Azhar University.
Kedua,
metode tafsir mencolok yang digunakan oleh Wahbah adalah metode tafsir
analitik/tahlili, dengan corak penggabungan antara tafsir bi al-ma’tsur dengan tafsir bi ar-ra`y.
Ketiga,
walau tafsir ini memiliki kelemahan, yakni seolah hanya mengutip dan jarang
sekali memberikan tafsiran baru yang sesuai dengan konteks kehidupan modern,
namun kelebihannya sangat dominan, dan berbekas di hati para pembacanya. Dengan
kelebihannya ini, seolah kelemahan dan kekurangannya tidak terlihat.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Syahbah, Muhammad bin Muhammad. al-Isra’iliyah wa
al-Maudhu`at fi
Kutub
at-Tafsir. Kairo: Maktabah as-Sunnah, 1407 H.
Al-Alma’i, Zahir bin ‘Awadh. Dirasat fi al-Tafsir al-Maudhu’i li al-Qur’an al-
Karim. Riyadh: 1404 H.
Ardiansyah. Pengantar Penerjemah,
dalam Badi` as-Sayyid al-Lahham, Syeikh
Prof. Dr.
Wahbah az-Zuhaily: Ulama Karismatik Kontemporer - Sebuah
Biografi. Bandung: Citapustaka Media Perintis,
2010.
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. at-Tafsir
wa al-Mufassirun. Kairo: Dar al-
Hadis, 2005.
Al-Farmawi, Abdul Hayy. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i. Kairo: Dar
ath-
thaba’ah wa an-Nasyr al-Islami, 2005.
Al-Lahham, Badi`
as-Sayyid. Syeikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily: Ulama
Karismatik Kontemporer - Sebuah Biografi, terj. Dr. Ardiansyah,
MA.
Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010.
Muslim, Musthafa. Mahabits fi al-Tafsir al-Maudhu’i. Damsyiq: Dar
al-Qalam,
1410 H/1989 M.
Suma, Muhammad Amin. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Jakarta:
Pustaka Firdaus,
2001.
Az-Zuhaily, Wahbah. al-Fiqh
al-Islamiy wa Adillatuh. Damaskus: Dar al-Fikr,
2007.
Az-Zuhaili, Wahbah. at-Tafsir
al-Munir: fi `Aqidah wa asy-Syari`ah wa al-Manhaj.
Damaskus: Dar
al-Fikr, 1991.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar