Rabu, 25 Desember 2013

Hadits Ghibah (Kitab Lu'lul wal Marjan

I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Penyakit hati merupakan salah satu penyakit yang amat sangat berbahaya. Diantara penyakit hati itu ialah Dengki, Iri hati, Ghibah dan lain sebagainya. Namun dalam hal ini, pemakalah akan sedikit memaparkan mengenai salah satu jenis penyakit hati yaitu Ghibah. Ghibah merupakan penyakit hati yang sering kali dilakukan oleh manusia tak terkecuali umat muslim. Zaman sekarang banyak orang yang mengaku muslim namun masih membeber-beberkan aib saudara muslimnya sendiri dengan kata lain menggunjinginya. Mungkin hal itu didasari dari kurangnya pengetahuan mengenai Ghibah itu sendiri. Banyak sekali hadits yang menjelaskan makna dari ghibah dan bahaya yang ditimbulkan ari ghibah itu sendiri. Namun sering kali umat muslim mengabaikannya.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan sedikit menjelaskan dan mengingatkan tentang apa yang disebut dengan Ghibah dan bahayanya beserta dalil-dalil yang berhubungan dengannya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan Ghibah?
2.      Bagaimanakah Penjelasan Hadits Rasulullah mengenai Ghibah?
3.      Bagaimanakah Penjelasan Ghibah yang diperbolehkan oleh Ulama?
4.      Bagaiamana cara menanggulangi sifat Ghibah?
II.                PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ghibah
Secara bahasa, kata “ghibah” (غيبة) berasal dari akar kata “ghaba, yaghibu” (يغيبغاب) yang artinya tersembunyi, terbenam, tidak hadir, dan tidak tampak. Kita sering menyebut “ghaib”, tidak hadir.Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menyimpulkan bahwa ghibahadalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, sedangkan orang muslim itu tidak suka bila hal itu disebutkan.[1]
Sedangkan menurut Imam Al Ghozali menyatakan bahwa ghibahtidak hanya pengungkapan aib seseorang yang dilakukan secara lisan. Tetapi juga termasuk pengungkapan dengan melalui perbuatan, misalnya dengan isyarat tangan, isyarat mata, tulisan, gerakan dan seluruh yang dapat dipahami maksudnya.
Muhammad al-Zarqāni menyatakan bahwa ghibah ini sebenarnya berlaku khusus bagi orang Muslim, sebab kata akhāka dalam hadis Nabi saw yang dimaksudkan adalah saudara seagama (sesama umat Islam). Karena itu, ghībah tidak berlaku pada orang kafir (la ghibah fī kifir).
B.     Penjelasan Hadits Rasulullah mengenai Ghibah
Dalam memahami pengertian ghibah sebagai sebuah istilah dalam Islam, sumber pokok yang dijadikan acuan pemahaman adalah hadis Nabi saw. Di antara hadis Nabi saw yang menerangkan pengertian ghibah ini, misalnya hadis yang berbunyi sebagai berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ ...رواه مسلم، ترميذى وأحمد

Rasulullah saw telah bersabda : Apakah kalian mengetahui apa ghībah itu ? Mereka berkata: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau bersabda : (Ghībah itu) adalah pengungkapan engkau tentang saudaramu mengenai apa yang ia benci. Dikatakan (ia ditanya): Apakah pendapatmu jika yang ada pada saudaraku sesuai apa yang saya katakan Beliau bersabda: Jika yang ada padanya sesuai apa yang engkau katakan, maka sesungguhnya engkau telah menggunjingnya, dan jika tidak sesuai yang ada padanya, maka sungguh engkau telah mendustakannya. (HR. Muslim; Turmuzi dan Ahmad).[2]
                             Penjelasan Nabi saw tentang pengertian ghibah dalam hadis tersebut di atas, sesungguhnya telah memberikan suatu pengertian bahwa ghībah itu adalah pengungkapan yang dilakukan seorang Muslim mengenai diri sesamanya Muslim yang apabila didengar menimbulkan rasa benci. Setelah Syaikh Muhammad Shālih al-Munajjid mengemukakan hadis tersebut, ia menyimpulkan bahwa ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang Muslim, sedang ia tidak suka bila itu disebutkan.
Dalam firman-Nya, Allah juga menggambarkan bahwa perbuatan Ghibah adalah perbuatan yang amat kotor dan keji. Firman-Nya tersebut ada di dalam Surat Al-Hujurat Ayat 12 yang berbunyi :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qç7Ï^tGô_$# #ZŽÏWx. z`ÏiB Çd`©à9$# žcÎ) uÙ÷èt/ Çd`©à9$# ÒOøOÎ) ( Ÿwur (#qÝ¡¡¡pgrB Ÿwur =tGøótƒ Nä3àÒ÷è­/ $³Ò÷èt/ 4 =Ïtär& óOà2ßtnr& br& Ÿ@à2ù'tƒ zNóss9 ÏmŠÅzr& $\GøŠtB çnqßJçF÷d̍s3sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# Ò>#§qs? ×LìÏm§ ÇÊËÈ  
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
 Banyak orang meremehkan masalah ghibah, padahal dalam pandangan Allah ia adalah sesuatu yang keji dan kotor. Hal itu dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Riba itu ada tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan daripadanya sama dengan seorang laki-laki yang menyetubuhi ibunya (sendiri), dan riba yang paling berat adalah pergunjingan seorang laki-laki atas kehormatan saudaranya". (As-Silsilah As-Shahihah,)
Di dalam sebuah riwayat disebutkan, dari ‘Aisyah, isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Aisyah berkata: Aku berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Cukuplah bagimu Shafiyah (isteri lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) yang begini dan begitu. (Maksudnya menggunjing Shafiyah adalah pendek). Lantas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan,
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
 Artinya : “Engkau telah mengucapkan suatu hal, seandainya ucapan itu dicelupkan ke dalam laut niscaya akan mengotorinya". (Hadits Shahih riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi).[3]
Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali menjelaskan hadits tersebut, bahwa air lautu pun dapat berubah rasa dan aromanya disebabkan betapa busuk dan kotornya perbutan ghibah. Hal ini menunjukkan suatu peringatan keras dari perbuatan tersebut.
Begitu besar dosa menggunjing, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diperlihatkan balasannya kelak di akhirat.
لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَصُدُوْرَهُمْ ، فَقُلْتُ مَنْ هؤُلاَءِ يَاجِبْرِيْلُ؟ قَالَ : هؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسِ وَيَقَعُوْنَ فِي أَعْرَاضِهِمْ

Artinya : “Ketika aku mi’raj (naik di langit), aku melewati suatu kaum yang kuku-kukunya dari tembaga dalam keadaan mencakar wajah-wajah dan dada-dadanya. Lalu aku bertanya: “Siapakah mereka itu wahai malaikat Jibril?” Malaikat Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan merusak kehormatannya.” (H.R. Abu Dawud no. 4878 dan lainnya dari Anas bin Malik).[4]

C.     Ghibah yang diperbolehkan
Dalam Riyadlus Shalihin,  kitab al-Umurul Manhie ‘anha (Hal-hal yang dilarang dalam agama), Imam Nawawi رحمه الله menyebutkan satu bab khusus Maa Yubaahu Minal Ghibah (Apa-apa yang diperbolehkan dari Ghibah).
Dalam kitab tersebut , beliau رحمه الله berkata: “Ketahuilah bahwa ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar sesuai dengan syariat, yang hal itu tidak mungkin ditempuh kecuali dengan ghibah. Yang demikian terjadi dengan enam sebab:
1.      Mengadukan kedhaliman
Orang yang terdhalimi diperbolehkan untuk melaporkan perbuatan pelakunya kepada penguasa, hakim atau yang lainnya yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk memperlakukannya secara adil. Seperti seorang yang berkata: “Si fulan mendhalimi aku demikian dan demikian”.
2.      Meminta bantuan dalam mengingkari kemungkaran atau mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang benar
Untuk melakukan hal di atas, diperbolehkan untuk mengatakan kepada seorang yang diperkirakan dapat membantu menghilangkan kemungkaran: “Fulan berbuat begini dan begitu, tegurlah ia”, atau kalimat-kalimat semisalnya. Tujuannya adalah menghilangkan kemungkaran dan mengembalikannya pada jalan yang benar. Jika bukan itu tujuannya, maka hal ini diharamkan.
3.      Meminta fatwa
Diperbolehkan berkata kepada seorang mufti (ulama yang berfatwa): “Ayahku berbuat dhalim kepadaku” atau “Saudaraku, suamiku atau fulan berbuat begini dan begitu kepadaku. Apakah yang demikian diperbolehkan?Dan bagaimana sikapku untuk menghindarinya dan kembali mendapatkan hak-hakku serta menghindari kedhaliman tersebut?”, atau kalimat yang semisalnya.
4.      Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan dan kejahatan seseorang serta menasehati mereka dari bahayanya
Hal di atas ada beberapa sisi, di antaranya:
- menjauhi perawi-perawi hadits yang dlaif atau saksi-saksi yang tidak terpercaya.
- Musyawarah dalam masalah pernikahan seseorang atau dalam hubungan dagang, penitipan barang atau muamalah-muamalah lainnya.
- Jika seorang pencari ilmu fiqh mendatangi ahlul bid’ah (aliran sesat) atau orang yang fasiq untuk mengambil ilmu, sementara dikhawatirkan dia akan mendapatkan kejelekan, maka kita perlu menasehatinya dengan menjelaskan keadaan orang itu sebenarnya dengan syarat meniatkannya sebagai nasehat.
- Jika ada seorang yang memiliki tanggung jawab kepemimpinan, tetapi dia tidak melaksanakannya dengan baik. Apakah karena memang ia tidak cocok untuk tugas itu atau dia adalah seorang yang fasik dan lalai, dan semisalnya.
5.      orang yang terang-terangan dalam berbuat kefasikan atau kebid’ahan
Seperti dia terang-terangan minum khamr, pemeras manusia, pencatut, merampas harta manusia dengan dhalim, melakukan perkara-perkara yang bathil.
6.      Mengenalkan atau memberi pengertian
Jika seseorang dikenal dengan julukannya seperti “si juling”, “si pincang”, “si tuli”, atau “si buta” dan lain-lain, maka  boleh mengenalkan orang tersebut dengan julukan-julukannya.
Namun tidak boleh menyebutkannya dengan maksud mengejek dan merendahkannya. Kalau memungkinkan untuk dikenalkan dengan selain itu, maka hal tersebut lebih baik.[5]
                        Tentunya pendapat di atas tidak hanya sekedar pendapat, namun di dalamnya terdapat dalil yaitu beberapa hadits dari Rasulullah SAW. Yang diantaranya sebagai berikut :
1.      Diriwayatkan dari Aisyah رضي الله عنه, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَا أَظُنُّ فُلاَنًا وَفُلاَنًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا. (رواه البخاري)
Aku tidak mengira kalau fulan dan fulan itu mengerti agama ini sedikit pun. (HR. Bukhari)
Dalam hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah  meremehkan keilmuan dua orang tersebut.  Dimana salah seorang perawi hadits yakni Laits ibnu Sa’ad berkata :“Dua orang tersebut adalah dari kalangan munafiq”.
2.      Diriwayatkan dari Fathimah binti Qais رضي الله عنها, dia berkata: aku mendatangi nabi صلى الله عليه وسلم, kemudian aku katakan: “Sesungguhnya Abu Jahm dan Mu’awiyyah melamarku”. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ… (رواه مسلم)
“Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (yakni sering memukul). Adapun Mu’awiyyah, dia miskin tidak punya harta.. (HR. Bukhari Muslim)
3.      Diriwayatkan Dari Aisyah رضي الله عنها, beliau berkata:
دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لاَ يُعْطِينِي مِنَ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ. (متفق عليه)
Hindun bintu ‘Utbah رضي الله عنها –istri Abu Sufyan—masuk kepada Nabi صلى الله عليه وسلم seraya berkata: “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang bakhil, tidak memberiku belanja yang cukup bagiku dan anakku, kecuali kalau aku mengambilnya tanpa sepengetahuannya”. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Ambillah sekedar mencukupimu dan anakmu dengan baik!” (HR. Bukhari Muslim).[6] Dan Hadits yang berkaitan dengan hadits di atas yang juga diriwayatkan Dari Aisyah رضي الله عنها ;
حديث عَائِشَةَ، أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ، وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي، إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
Aisyah r.a. berkata: Hindun binti Utbah datang dan berkata: Ya Rasulullah, dahulu tidak ada di atas bumi yang aku inginkan binasa seperti keluargamu, kemudian kini tidak ada di atas bumi ini keluarga yang saya inginkan mulia seperti keluargamu. Juga berkata:Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir bakhil. Apakah berdosa jika aku memberi makan untuk anak-anak kami dari hartanya. Jawab Nabi saw.: Saya rasa tidak apa-apa secara yang layak baik. (Bukhari, Muslim).[7]
Kedua hadits tentang Hindun di atas menjelaskan bahwa Hindun tersebut mengadukan perilaku buruk suaminya kepada Rasulullah SAW..  Yang kemudian Rasulullah SAW memperbolehkan Hindun untuk mengambil harta suaminya tanpa sepengetahuannya. Dari hadits di atas pula dapat diambil kesimpulan bahwasanya ghibah untuk mengadukan kedhaliman itu diperbolehkan.
D.    Cara Menanggulangi Sifat Ghibah
Menurut ijma’ ulama ghibah termasuk dosa besar. Pada dasarnya yang melakukan ghibah telah melakukan dua kejahatan: kejahatan terhadap Allah Ta’ala karena telah melakukan perbuatan yang jelas dilarang olehNya dan kejahatan terhadap hak manusia. Maka langkah pertama yang harus diambil untuk menghindari maksiat ini adalah dengan taubat yang mencangkup tiga syarat, yaitu meninggalkan perbuatan tersebut, menyesali perbuatan yang telah dilakukan, dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi.
Selanjutnya, harus diikuti langkat kedua untuk menebu kejahatannya atas hak manusia, yaitu dengan mendatangi orang yang digunjingnya kemudian meminta maaf atas perbuatannnya dan menunjukkan penyesalannya. Ini dilakukan bila orang yang dibicarakan mengetahui bahwa ia telah dibicarakan. Namun apabila ia belum mengetahui, maka bagi yang melakukan ghibah atasnya hendaknya mendoakannya dengan kebaikan dan berjanji pada dirinya untuk mengulanginya.
Oleh karena itu, berikut merupakan kiat-kiat khusus untuk menghindarkan diri dari sifat Ghibah :
1.     Selalu mengingat bahwa perbuatan ghibah adalah penyebab kemarahan dan kemurkaan Allah serta turunnya azab dariNya.
2.     Hendaknya orang yang melakukan perbuatan ghibah mengingat dulu aib dirinya sendiri dan segera berusaha memperbaikinya.
3.     Selalu ingat bila ia membicarakan saudaranya, maka ia seperti makan bangkai saudaranya.
4.     Hukumnya wajib mengingatkan orang sedang melakukan ghibah, bahwa perbuatan tersebut hukumnya haram dan dimurkai Allah.[8]
III.             PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pemaparan di atas penulis menyimpulkan bahwa Ghibah adalah perbuatan kotor dan keji yang dibenci oleh Allah dan Rasull-Nya. Dari pemaparan juga telah dijelaskan bahwa terdapat ghibah yang diperbolehkan untuk dilakukan yang mana dengan tujuan yang baik.
B.     Kritik dan Saran
Demikian makalah dari penulis. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk penulis jadikan evaluasi ke depannya. Dan semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua.  

























DAFTAR PUSTAKA
Aladi ,Moh. Machfudin. Terjemah Bulughul Maram.  Semarang : Toha Putera.
Baqi ,Muhammad Fuad Abdul.  Al-Lu’lu Wal Marjan. Juz 1. Bab Putusan.
Nawawi ,Imam. Terjemah Riyadhus Shalihin. Jakarta : Pustaka Amani. 1999. jilid 2.



[2]Moh. Machfudin Aladi, Terjemah Bulughul Maram, (Semarang : Toha Putera), hlm. 766.
[3] Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, (Jakarta : Pustaka Amani, 1999), jilid 2, Hlm.421
[4] Ibid., Hlm.422.
[5] Ibid., hlm.426.
[6] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu Wal Marjan, Juz 1, Bab Putusan, Hlm. 193.
[7] Ibid,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar