I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Penyakit hati merupakan salah satu penyakit yang amat sangat
berbahaya. Diantara penyakit hati itu ialah Dengki, Iri hati, Ghibah dan lain
sebagainya. Namun dalam hal ini, pemakalah akan sedikit memaparkan mengenai
salah satu jenis penyakit hati yaitu Ghibah. Ghibah merupakan penyakit hati
yang sering kali dilakukan oleh manusia tak terkecuali umat muslim. Zaman
sekarang banyak orang yang mengaku muslim namun masih membeber-beberkan aib
saudara muslimnya sendiri dengan kata lain menggunjinginya. Mungkin hal itu
didasari dari kurangnya pengetahuan mengenai Ghibah itu sendiri. Banyak sekali
hadits yang menjelaskan makna dari ghibah dan bahaya yang ditimbulkan ari
ghibah itu sendiri. Namun sering kali umat muslim mengabaikannya.
Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan sedikit menjelaskan
dan mengingatkan tentang apa yang disebut dengan Ghibah dan bahayanya beserta
dalil-dalil yang berhubungan dengannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan Ghibah?
2.
Bagaimanakah Penjelasan Hadits Rasulullah mengenai Ghibah?
3.
Bagaimanakah Penjelasan Ghibah yang diperbolehkan oleh Ulama?
4.
Bagaiamana cara menanggulangi sifat Ghibah?
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ghibah
Secara bahasa, kata “ghibah” (غيبة) berasal dari akar kata “ghaba, yaghibu” (يغيبغاب) yang artinya tersembunyi, terbenam, tidak hadir, dan tidak
tampak. Kita sering menyebut “ghaib”, tidak hadir.Syaikh Muhammad Shalih
Al-Munajjid menyimpulkan bahwa ghibahadalah menyebutkan sesuatu yang terdapat
pada diri seorang muslim, sedangkan orang muslim itu tidak suka bila hal itu
disebutkan.[1]
Sedangkan menurut Imam Al Ghozali menyatakan bahwa ghibahtidak
hanya pengungkapan aib seseorang yang dilakukan secara lisan. Tetapi juga
termasuk pengungkapan dengan melalui perbuatan, misalnya dengan isyarat tangan,
isyarat mata, tulisan, gerakan dan seluruh yang dapat dipahami maksudnya.
Muhammad al-Zarqāni menyatakan bahwa ghibah ini sebenarnya berlaku khusus
bagi orang Muslim, sebab kata akhāka dalam hadis Nabi saw yang
dimaksudkan adalah saudara seagama (sesama umat Islam). Karena itu, ghībah tidak berlaku pada orang kafir (la
ghibah fī kifir).
B. Penjelasan
Hadits Rasulullah mengenai Ghibah
Dalam memahami pengertian ghibah sebagai sebuah istilah dalam
Islam, sumber pokok yang dijadikan acuan pemahaman adalah hadis Nabi saw. Di
antara hadis Nabi saw yang menerangkan pengertian ghibah ini, misalnya hadis
yang berbunyi sebagai berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ
قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي
مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ
يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ ...رواه مسلم، ترميذى وأحمد
Rasulullah saw telah bersabda : Apakah kalian mengetahui
apa ghībah itu ? Mereka berkata: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau
bersabda : (Ghībah itu) adalah pengungkapan engkau tentang saudaramu mengenai
apa yang ia benci. Dikatakan (ia ditanya): Apakah pendapatmu jika yang ada pada
saudaraku sesuai apa yang saya katakan Beliau bersabda: Jika yang ada padanya
sesuai apa yang engkau katakan, maka sesungguhnya engkau telah menggunjingnya,
dan jika tidak sesuai yang ada padanya, maka sungguh engkau telah
mendustakannya. (HR. Muslim; Turmuzi dan Ahmad).[2]
Penjelasan Nabi saw
tentang pengertian ghibah dalam hadis tersebut di atas,
sesungguhnya telah memberikan suatu pengertian bahwa ghībah itu adalah pengungkapan yang
dilakukan seorang Muslim mengenai diri sesamanya Muslim yang apabila didengar
menimbulkan rasa benci. Setelah Syaikh Muhammad Shālih al-Munajjid
mengemukakan hadis tersebut, ia menyimpulkan bahwa ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang
terdapat pada diri seorang Muslim, sedang ia tidak suka bila itu disebutkan.
Dalam firman-Nya, Allah juga menggambarkan bahwa perbuatan Ghibah adalah
perbuatan yang amat kotor dan keji. Firman-Nya tersebut ada di dalam Surat
Al-Hujurat Ayat 12 yang berbunyi :
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä (#qç7Ï^tGô_$#
#ZÏWx. z`ÏiB
Çd`©à9$# cÎ) uÙ÷èt/ Çd`©à9$# ÒOøOÎ) ( wur (#qÝ¡¡¡pgrB
wur =tGøót
Nä3àÒ÷è/
$³Ò÷èt/
4 =Ïtär& óOà2ßtnr& br&
@à2ù't zNóss9 ÏmÅzr&
$\GøtB
çnqßJçF÷dÌs3sù
4 (#qà)¨?$#ur
©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# Ò>#§qs?
×LìÏm§
ÇÊËÈ
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan
janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama
lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Banyak
orang meremehkan masalah ghibah, padahal dalam pandangan Allah ia adalah sesuatu yang keji dan kotor. Hal itu dijelaskan dalam
sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Riba itu ada
tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan daripadanya sama dengan seorang
laki-laki yang menyetubuhi ibunya (sendiri), dan riba yang paling berat adalah
pergunjingan seorang laki-laki atas kehormatan saudaranya". (As-Silsilah
As-Shahihah,)
Di dalam sebuah riwayat disebutkan, dari
‘Aisyah, isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Aisyah berkata: Aku
berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Cukuplah bagimu Shafiyah
(isteri lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) yang begini dan begitu. (Maksudnya menggunjing Shafiyah adalah pendek). Lantas Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan,
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً
لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
Artinya : “Engkau telah mengucapkan suatu hal,
seandainya ucapan itu dicelupkan ke dalam laut niscaya akan mengotorinya".
(Hadits Shahih riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi).[3]
Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali menjelaskan hadits
tersebut, bahwa air lautu pun dapat berubah rasa dan aromanya disebabkan betapa
busuk dan kotornya perbutan ghibah. Hal ini menunjukkan suatu peringatan keras
dari perbuatan tersebut.
Begitu besar dosa menggunjing, sampai-sampai Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diperlihatkan balasannya kelak di akhirat.
لَمَّا عُرِجَ بِي
مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ
وَصُدُوْرَهُمْ ، فَقُلْتُ مَنْ هؤُلاَءِ يَاجِبْرِيْلُ؟ قَالَ : هؤُلاَءِ
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسِ وَيَقَعُوْنَ فِي أَعْرَاضِهِمْ
Artinya : “Ketika aku mi’raj (naik di langit), aku melewati suatu kaum
yang kuku-kukunya dari tembaga dalam keadaan mencakar wajah-wajah dan
dada-dadanya. Lalu aku bertanya: “Siapakah mereka itu wahai malaikat Jibril?”
Malaikat Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging
manusia dan merusak kehormatannya.” (H.R. Abu Dawud no. 4878 dan lainnya dari
Anas bin Malik).[4]
C. Ghibah yang
diperbolehkan
Dalam Riyadlus
Shalihin, kitab al-Umurul
Manhie ‘anha (Hal-hal yang dilarang dalam agama), Imam Nawawi رحمه الله menyebutkan satu bab khusus Maa Yubaahu Minal Ghibah (Apa-apa yang diperbolehkan dari Ghibah).
Dalam kitab tersebut ,
beliau رحمه الله
berkata: “Ketahuilah bahwa ghibah diperbolehkan untuk tujuan
yang benar sesuai dengan syariat, yang hal itu tidak mungkin ditempuh kecuali
dengan ghibah. Yang demikian terjadi
dengan enam sebab:
1.
Mengadukan kedhaliman
Orang
yang terdhalimi diperbolehkan untuk melaporkan perbuatan pelakunya kepada
penguasa, hakim atau yang lainnya yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk
memperlakukannya secara adil. Seperti seorang yang berkata: “Si fulan
mendhalimi aku demikian dan demikian”.
2.
Meminta bantuan dalam
mengingkari kemungkaran atau mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang
benar
Untuk
melakukan hal di atas, diperbolehkan untuk mengatakan kepada seorang yang
diperkirakan dapat membantu menghilangkan kemungkaran: “Fulan
berbuat begini dan begitu, tegurlah ia”, atau kalimat-kalimat
semisalnya. Tujuannya adalah menghilangkan kemungkaran dan mengembalikannya
pada jalan yang benar. Jika bukan itu tujuannya, maka hal ini diharamkan.
3.
Meminta fatwa
Diperbolehkan
berkata kepada seorang mufti (ulama yang berfatwa): “Ayahku
berbuat dhalim kepadaku” atau
“Saudaraku,
suamiku atau fulan berbuat begini dan begitu kepadaku. Apakah yang demikian
diperbolehkan?Dan bagaimana sikapku untuk menghindarinya dan
kembali mendapatkan hak-hakku serta menghindari kedhaliman tersebut?”, atau kalimat yang semisalnya.
4. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan dan kejahatan seseorang
serta menasehati mereka dari bahayanya
Hal
di atas ada beberapa sisi, di antaranya:
-
menjauhi perawi-perawi hadits yang dlaif atau saksi-saksi yang tidak
terpercaya.
-
Musyawarah dalam masalah pernikahan seseorang atau dalam hubungan dagang, penitipan
barang atau muamalah-muamalah lainnya.
-
Jika seorang pencari ilmu fiqh mendatangi ahlul
bid’ah (aliran sesat)
atau orang yang fasiq untuk mengambil ilmu, sementara dikhawatirkan dia akan
mendapatkan kejelekan, maka kita perlu menasehatinya dengan menjelaskan keadaan
orang itu sebenarnya dengan syarat meniatkannya sebagai nasehat.
-
Jika ada seorang yang memiliki tanggung jawab kepemimpinan, tetapi dia tidak
melaksanakannya dengan baik. Apakah karena memang ia tidak cocok untuk tugas
itu atau dia adalah seorang yang fasik dan lalai, dan semisalnya.
5.
orang yang terang-terangan
dalam berbuat kefasikan atau kebid’ahan
Seperti
dia terang-terangan minum khamr, pemeras manusia, pencatut, merampas harta
manusia dengan dhalim, melakukan perkara-perkara yang bathil.
6.
Mengenalkan atau memberi
pengertian
Jika
seseorang dikenal dengan julukannya seperti “si juling”, “si pincang”, “si
tuli”, atau “si buta” dan lain-lain, maka boleh mengenalkan orang
tersebut dengan julukan-julukannya.
Namun
tidak boleh menyebutkannya dengan maksud mengejek dan merendahkannya. Kalau
memungkinkan untuk dikenalkan dengan selain itu, maka hal tersebut lebih baik.[5]
Tentunya
pendapat di atas tidak hanya sekedar pendapat, namun di dalamnya terdapat dalil
yaitu beberapa hadits dari Rasulullah SAW. Yang diantaranya sebagai berikut :
1.
Diriwayatkan dari Aisyah رضي الله عنه,
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَا
أَظُنُّ فُلاَنًا وَفُلاَنًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا. (رواه البخاري)
Aku tidak mengira kalau fulan dan fulan itu
mengerti agama ini sedikit pun. (HR. Bukhari)
Dalam
hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah meremehkan keilmuan dua orang tersebut. Dimana salah seorang perawi hadits yakni Laits
ibnu Sa’ad berkata :“Dua orang tersebut adalah dari kalangan munafiq”.
2. Diriwayatkan
dari Fathimah binti Qais رضي الله عنها, dia berkata: aku mendatangi nabi صلى الله عليه وسلم,
kemudian aku katakan: “Sesungguhnya Abu Jahm dan Mu’awiyyah melamarku”. Nabi صلى الله عليه وسلم
bersabda:
أَمَّا
أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ
فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ… (رواه مسلم)
“Adapun
Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (yakni sering
memukul). Adapun Mu’awiyyah, dia miskin tidak punya harta.. (HR. Bukhari
Muslim)
3.
Diriwayatkan Dari Aisyah رضي الله عنها, beliau
berkata:
دَخَلَتْ
هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ
رَجُلٌ شَحِيحٌ لاَ يُعْطِينِي مِنَ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ
إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ
مِنْ جُنَاحٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُذِي
مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ. (متفق عليه)
Hindun
bintu ‘Utbah رضي الله عنها –istri Abu Sufyan—masuk kepada Nabi صلى
الله عليه وسلم seraya berkata:
“Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang bakhil, tidak memberiku belanja
yang cukup bagiku dan anakku, kecuali kalau aku mengambilnya tanpa
sepengetahuannya”. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Ambillah sekedar mencukupimu
dan anakmu dengan baik!” (HR. Bukhari Muslim).[6]
Dan Hadits yang berkaitan dengan hadits di atas yang juga diriwayatkan Dari
Aisyah رضي الله عنها ;
حديث
عَائِشَةَ، أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا
سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ، وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي، إِلاَّ
مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ
بِالْمَعْرُوفِ
Aisyah r.a.
berkata: Hindun binti Utbah
datang dan berkata: Ya Rasulullah, dahulu tidak ada di atas bumi yang aku
inginkan binasa seperti keluargamu, kemudian kini tidak ada di atas bumi ini
keluarga yang saya inginkan mulia seperti keluargamu. Juga berkata:Demi Allah
yang jiwaku ada di tangan-Nya, Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang
yang kikir bakhil. Apakah berdosa jika aku memberi makan untuk anak-anak kami
dari hartanya. Jawab Nabi saw.: Saya rasa tidak apa-apa secara yang layak baik.
(Bukhari, Muslim).[7]
Kedua hadits tentang Hindun di atas
menjelaskan bahwa Hindun tersebut mengadukan perilaku buruk suaminya kepada
Rasulullah SAW.. Yang kemudian
Rasulullah SAW memperbolehkan Hindun untuk mengambil harta suaminya tanpa
sepengetahuannya. Dari hadits di atas pula dapat diambil kesimpulan bahwasanya
ghibah untuk mengadukan kedhaliman itu diperbolehkan.
D. Cara Menanggulangi Sifat Ghibah
Menurut
ijma’ ulama ghibah termasuk dosa besar. Pada dasarnya yang melakukan ghibah
telah melakukan dua kejahatan: kejahatan terhadap Allah Ta’ala karena telah
melakukan perbuatan yang jelas dilarang olehNya dan kejahatan terhadap hak
manusia. Maka langkah pertama yang harus diambil untuk menghindari maksiat ini
adalah dengan taubat yang mencangkup tiga syarat, yaitu meninggalkan perbuatan
tersebut, menyesali perbuatan yang telah dilakukan, dan berjanji untuk tidak
melakukannya lagi.
Selanjutnya,
harus diikuti langkat kedua untuk menebu kejahatannya atas hak manusia, yaitu
dengan mendatangi orang yang digunjingnya kemudian meminta maaf atas perbuatannnya
dan menunjukkan penyesalannya. Ini dilakukan bila orang yang dibicarakan
mengetahui bahwa ia telah dibicarakan. Namun apabila ia belum mengetahui, maka
bagi yang melakukan ghibah atasnya hendaknya mendoakannya dengan kebaikan dan
berjanji pada dirinya untuk mengulanginya.
Oleh
karena itu, berikut merupakan kiat-kiat khusus untuk menghindarkan diri dari
sifat Ghibah :
1.
Selalu mengingat bahwa perbuatan ghibah adalah
penyebab kemarahan dan kemurkaan Allah serta turunnya azab dariNya.
2.
Hendaknya orang yang melakukan perbuatan ghibah
mengingat dulu aib dirinya sendiri dan segera berusaha memperbaikinya.
3.
Selalu ingat bila ia membicarakan saudaranya,
maka ia seperti makan bangkai saudaranya.
4.
Hukumnya wajib mengingatkan orang sedang
melakukan ghibah, bahwa perbuatan tersebut hukumnya haram dan dimurkai Allah.[8]
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas penulis menyimpulkan bahwa Ghibah
adalah perbuatan kotor dan keji yang dibenci oleh Allah dan Rasull-Nya. Dari
pemaparan juga telah dijelaskan bahwa terdapat ghibah yang diperbolehkan untuk
dilakukan yang mana dengan tujuan yang baik.
B.
Kritik dan Saran
Demikian makalah dari penulis. Penulis menyadari bahwa
masih terdapat banak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk penulis jadikan
evaluasi ke depannya. Dan semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Aladi
,Moh. Machfudin. Terjemah Bulughul Maram. Semarang : Toha Putera.
Baqi
,Muhammad Fuad Abdul. Al-Lu’lu Wal
Marjan. Juz 1. Bab Putusan.
Nawawi
,Imam. Terjemah Riyadhus Shalihin. Jakarta : Pustaka Amani. 1999. jilid
2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar