I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Logika
sebagai teori penyimpulan, berlandaskan pada suatu konsep yang dinyatakan dalam
bentuk kata atau istilah, dan dapat diungkapkan dalam bentuk himpunan sehingga
setiap konsep mempunyai himpunan, mempunyai keluasan. Dengan dasar himpunan
karena semua unsur penalaran dalam logika pembuktiannya menggunakan diagram
himpunan, dan ini merupakan pembuktian secara formal jika diungkapkan dengan
diagram himpunan sah dan tepat karena sah dan tepat pula penalaran tersebut.
Berdasarkan
proses penalarannya dan juga sifat kesimpulan yang dihasilkannya, logika
dibedakan antara logika deduktif dan logika induktif. Logika deduktif adalah
sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah berdasarkan
bentuknya serta kesimpulan yang dihasilkan sebagai kemestian diturunkan dari
pangkal pikirnya. Dalam logika ini yang terutama ditelaah adalah bentuk dari
kerjanya akal jika telah runtut dan sesuai dengan pertimbangan akal yang dapat
dibuktikan tidak ada kesimpulan lain karena proses penyimpulannya adalah tepat
dan sah. Logika deduktif karena berbicara tentang hubungan bentuk-bentuk
pernyataan saja yang utama terlepas isi apa yang diuraikan karena logika
deduktif disebut pula logika formal.
Oleh
karna pentingnya materi-materi tersebut di atas, maka dalam makalah ini,
penulis akan sedikit menjelaskan mengenai jalan pikiran, teori Induksi dan
deduksi.
B.
Rumusa Masalah
1.
Apa Pengertian Jalan Pikiran?
2.
Bagaimana Cara Menguji Suatu Jalan Pikiran?
3.
Apa yang Di Maksud dengan Induksi, Deduksi da Silogisme?
II.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Jalan Pikiran
Tujuan pemikiran manusia adalah mencapai pengetahuan yang benar dan
sedpat mungkin pasti. Tetapi, dalam kenyataannya hasil pemikiran maupun
alasan-alasan yang diajukan belum tentu selalu benar. Benar=sesuai dengan
kenyataan, berarti jika yang dipikirkan itu betul-betul sesuai dengan
kenyataannya. Dan begitu juga dengan “salah=tidak sesuai dengan kenyataan. Jadi
dapat disimpulkan bahwa ukuran untuk menentukan suatu pemikiran itu benar atau
salah.[1]
Pada
dasarnya, orang dapat mengerti atau tahu mengenai suatu hal karena adanya suatu
pemberitahuan atau karena seseorang tersebut melakukan suatu perenungan
mengenai suatu hal. Yang hasil pengertiannya kemudian dicetuskan dalam sebuah
putusan. Tindakan seseorang dalam mencapai sebuah putusan merupakan suatu
rentetan tindakan dari putusan satu orang beralih pada keputusan baru yang
seolah-olah putusan itu bergerak dari satu putusan ke putusan lain. Kemudian tindakan manusia dengan budinya dari
satu putusan kepada putusan lain dan inilah yang disebut dengan jalan pikiran.
Sebagai contoh adalah “kota jakarta hujan disebabkan karena air laut dipesisir
pantai kota jakarta meluap”. Jika pernyataan tersebut bersifat fakta atau
sebenarnya maka jala pikiran itu dapat dikatakan sebagai jalan pikiran yang
benar.[2]
2.
Menguji suatu Jalan Pikiran[3]
A.
Dalam menguji suatu
pemikiran, kita dapat mengajukan empat
pertanyaan sbagai berikut :
1.
Apa yang hendak ditegaskan atau apa pokok pernyataan yang diajukan.
Dan selanjutnya hal inilah yang akan kita jadikan sebagai kesimpulan.
2.
Atas dasar apa seseorang tersebut sampai pada kesimpulan seperti
itu?apa alasan-alasannya dan apa titik pangkalnya? (dalam istilah teknis
disebut premis-premisnya).
3.
Bagaimana jalan pikiran yang mengaitkan alasan-alasan yang diajukan
dan kesimpuln yang ditarik?bagaimana langkah-langkahnya?apakah kesimpulan itu
sah yang memang dapat ditarik kesimpulan dari alasan-alasan itu?
4.
Apakah kesimpulan atau penjelasan itu benar ? apakah pasti?atau
hanya mungkin benar?
Sebagai
alat untuk membantu pengujian suatu pikiran, maka sangat penting untuk menyusun
skema jalan pikiran sehingga tampak jelas mana yang merupakan kesimpulan dan
mana yang merupakan alasan serta bagaimana orang tertentu menarik kesimpulan
tertentu dari alasan-alasan yang telah dipaparkan.
Sebagai contoh
adalah :
Seorang anak tenggelam disungai kemudian diangkat ke daratan dalam
keadaan pingsan. Kemudian tetangga yang melihatnya berkata :”Ia tidak bernafas
lagi”. Kemudian Ibunya menangi dan berkata, “anakku mati”. Sehingga dapat
dirumuskan secara singkat bahwa : Dia tidak bernafas lagi berarti dia telah
mati.
Pokok pernyataan : Dia = mati
Alasan/premis = tidk bernafas lagi
Hubungan = karena ia tak bernapas
lagi, maka Ia dikatakan sudah mati. Titik pangkal (yang secara implisit menjadi
landasan untuk menarik kesimpulan bahwa dia sudah mati). Barang siapa sudah
tidak bernapas, berarti dia sudah mati ( bernapas adalah tanda kehidupan, maka
jika sudah tidak bernapa maka sudah mati).
B.
Tiga Syarat pokok pemikiran[4]
a.
Suatu pemikiran harus berangkat dari kenyataan atau titik
pangkalnya harus benar.
Meskipun jalan pikirannya logis, jika dalam suatu pemikiran tidak
berpangkal dari kenyataan atau dalil yang benar tentu tidak aka mengahasilkan
kesimpulan yang benar pula. Sebagai contoh adalah : kalau terjadi longsor,
pohon-pohon akan tumbang. Hal ini merupakan hubungn yang logis, namun pada
kenyataannya, walaupun tidak terjadi tanah longsorpun pohon akan tumbang.
Semisal karena kondisi pohon yang sudah tua lalu ditiup angin yang sangat
kencag. Hal itu juga akan mengakibatkan pohon itu tumbang.
Perlu dibedakan antara kepastian subjektif (saya merasa pasti)
dengan kepastian objektif (fakta yang memang demikian atau yang ada). Perasaan
subjektif belumlah merupakan bukti bahwa sesuatu tentu benar.
b.
Alasan-alasan yang diajukan harus tepat dan kuat.
Ada banyak hal yang dapat dibuktikan dengan menunjukan fakta yang
ada saja. Tetapi lebih banyak lagi hal yang dibuktikan dengan suatu pemikiran
yang merupakan suatu rangkaian langkah-langkah yang disusun secara logis
menjadi suatu jalan pikiran.
c.
Jalan pikiran harus logis dan lurus.
Jika titik pangkal memang tepat dan benar tetapi jalan pikiran
(urutan langkah-langkah) tidak tepat, maka kesimpulan yang akan dihasilkan juga
tidak akan tepat dan benar. Jika hubungan keduanya tepat dan benar maka
kesimpulannya akan sah (valid).
3.
Pengertian Induksi dan Deduksi
a.
Induksi
Dari satu kali pengalaman saja seorang manusia dapat mengetahui
pengetahuan tentang hal itu. Pengetahuan khusus ini dapat juga berulangkali yang
kemudian dengan pengetahuan dasar tersebut seorang manusia dapat mengembangkan
dari pengetahuan khusus itu pada pengetahuan yang lebih luas atau lebih umum.
Hal inilah yang dinamakan dengan induksi.[5]
Secara garis
besar, Induksi dapat diartikan sebagai proses pemikiran di dalam akal kita dari
pengetahuan tentang kejadian atau peristiwa yang bersifat konkret atau khusus
untuk menyimpulkan pengetahuan yang bersifat lebih umum.
Induksi dibagi
menjadi dua bagian, yaitu :
·
Induksi Sempurna
Suatu pemikiran dapat dikatakan sebagai induksi sempurna jika
putusan umum itu merupakan perjumlahan dari putusan khusus. Sebagai contoh
adalah : dari masing-masing mahasiswa fakultas Ushuluddin, diketahui bahwa Ia
warga negara Indonesia. Maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa semua
mahasiswa fakultas Ushuluddin adalah warga negara Indonesia.
·
Induksi tidak sempurna
Induksi ini berlaku jika dalam mengambil sebuah putusan umum bukan
hasil dari penjumlahan khusus melainkan, seakan-akan loncatan dari yang khusus
ke umum. Sebagai contoh adalah hukum alam alam pada pembekuan air. Secara
teori, ilmu tidak ragu-ragu dalam menyimpulkan hal tersebut.
Bahaya yang melekat pada jalan pikiran Induksi adalah bahwa kita
terlalu cepat dalam mengambil sebuah kesimpulan umum tanpa memperhatikan apakah
mempunyai dasar yang cukup untuk kmenarik kesimpulan itu atau bisa juga
menganggap pasti sesuatu yang belum pasti. Hal ini dapat dikatan sebagai
generalisasi yang tergesa-gesa.
Dalam
ilmu statistik dipelajari secar ilmiah
syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
dari jumlah kejadian yang kecil , kita bisa menarik kesimpulan yang berlaku
umum tanpa melanggar kebenaran. Yang perlu diperhatikan adalah apakah sample
yang digunakan sebagai landasan untuk menarik sebuah kesimpulan umum itu cukup
representatif (mewakili) bagi keseluruhan.
b.
Deduksi
Deduksi merupakan kebalikan dari Induksi. Secara teori deduksi
dapat diartikan sebagai proses pemikiran akal kita dari pengetahuan yang
bersifat umum untuk menyimpulkan pemikiran yang lebih khusus.[6]
Sebagai contoh adalah : jika seseorang mempunyai putusan khusus bahwa si A akan
mati, karena Ia manusia. Sebenarnya jalan pikirannya adalah dari putusan umum :
semua manusia akan mati, si A pun adalah manusia sehingga Ia pasti mati.
Putusan bahwa si A akan mati adalah suatu putusan yang dicapai seseorang secara
deduktif atau melalui deduksi.
Dalam
penjelasannya mengenai deduksi terdapat dua jenis deduksi, yaitu :
·
Deduksi sistem tertutup
Sebagai contoh deduksi jenis ini adalah : gambar ini adalah gambar
jajaran genjang, jadi sisi-sisinya yang berhadapan adalah sama. Pemikiran
tersebut dapat didasarkan pada definisi jajaran genjang itu sendiri dimana
jajaran genjang mempunyai empat segi dan sisinya yang berhadapan sejajar.
Dengan menerima semua dalil dan batasan tentang garis lurus dan sejajar maka
dengan rangkaian langkah-langkah dapat dibuktikan bahwa sisinya sisinya yang
berhadapan itu sama. Contoh tersebut merupakan deduksi tertutup karena sekali
diketahui aturan-aturannya, maka dengan jalan pikiran yang logis dapat ditarik
kesimpulan-kesimpulan yang sungguh-sungguh pasti. Tidak akan ada sesorang yang
dapat menggoyangkan kesimpulan atau putusan tersebut.
·
Deduksi sistem terbuka
Suatu kesimpulan dapat bersifat pasti jika kita tahu dengan positif
dan tanpa ragu-ragu bahwa kesimpulannyang ditarik itu benar. Bila kesimpulan
tidak pasti , kita hanya bisa mengatakan itu mungkin. Seringkali kita harus
menerima bahwa pengetahuan kita hanya sementara saja, hanya mungkin, sangat
mungkin atau hampir pasti.
Berbicara mengenai deduksi sistem terbuka, tidak semua putusan
dapat dipastikan seperti ilmu pasti. Selalu ada kemungkinan informasi dari luar
yang mungkin mengubah keputusan atau keputusan yang telah diambil. Kesimpula
yang telah diambil atas kejadian-kejadian yang konkret dan terbuka utnuk
pengaruh dari luar tidak dapat mencapai tingkat kepastian yang sama seperti
kesimpulan-kesimpulan yang diambil dengan jalan deduksi sistem tertutup.
III.
PENUTUP
·
Tujuan pemikiran manusia adalah mencapai pengetahuan yang benar dan
sedpat mungkin pasti. Tetapi, dalam kenyataannya hasil pemikiran maupun
alasan-alasan yang diajukan belum tentu selalu benar. Benar=sesuai dengan
kenyataan, berarti jika yang dipikirkan itu betul-betul sesuai dengan
kenyataannya. Dan begitu juga dengan “salah=tidak sesuai dengan kenyataan. Jadi
dapat disimpulkan bahwa ukuran untuk menentukan suatu pemikiran itu benar atau
salah.
·
Sebagai alat untuk membantu pengujian suatu pikiran, maka sangat
penting untuk menyusun skema jalan pikiran sehingga tampak jelas mana yang
merupakan kesimpulan dan mana yang merupakan alasan serta bagaimana orang
tertentu menarik kesimpulan tertentu dari alasan-alasan yang telah dipaparkan.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.
W. Poespoprodjo dan DRS. EK. T. Gillarso, Logika Ilmu Menalar, Bandung :
Pustaka Grafika, 1999.
Prof. Dr.
Poedjawidjatna, Logika Filsafat Berpikir, Jakarta : PT. Rineka Cipta,
1992.
[1] Dr. W.
Poespoprodjo dan DRS. EK. T. Gillarso, Logika Ilmu Menalar, Bandung :
Pustaka Grafika, 1999, hlm. 18.
[2] Prof. Dr.
Poedjawidjatna, Logika Filsafat Berpikir, Jakarta : PT. Rineka Cipta,
1992, hlm. 70.
[3] Op. Cit.,
[4] Ibid,.
[5] Prof. Dr.
Poedjawidjatna, Op. Cit., hlm. 70.
[6] Dr. W.
Poespoprodjo dan DRS. EK. T. Gillarso, Op. Cit.,hlm. 22.