Rabu, 25 Desember 2013

Syarat Zakat Mal


I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam telah mendapat perhatian yang serius dan para Ulama dalam upaya memelihara keotentikannya. Hadits telah dibukukan di dalam berbagai kitab dan penulis kitab hadits disebut periwayat sekaligus penghimpun hadits. Sebagian penghimpun hadits telah berupaya untuk menyeleksi hadits-hadits yang shahih di dalam kitabnya, namun sebagian lain menghimpun hadits sebanyak mungkin tanpa membedakan antara yang sahih dan yang tidak sahih, seperti musnad Imam Ibn Hanbal dan kitab-kitab musnad lainnya.
Dengan demikian kita sebagai umat muslim tidak boleh menerima begitu saja hadits yang diriwayatkan oleh para ulama terdahulu atau dikenal dengan seorang perawi. Maka dari itu melalui ilmu Jarh wa Ta’dil inilah kita akan belajar mengenai riwayat hidup seorang perawi apakah riwayatnya tersebut Shahih ataupun Dhoif. Namun, terdapat beberapa persyaratan bagi seseorang yang akan menjarh ataupun men-Ta’dil seorang perawi. Yang Insya Alloh akan penulis bahas di dalam makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja Syarat-syarat diterimanya Jarh wa Ta’dil itu ?
2.      Apa sajakah Gelar para Ahli Hadits ?
II.                PEMBAHASAN
A.    Syarat Diterimanya Jarh wa Ta’dil
Sebelum membahas mengenai bagaimana Jarh ataupun Ta’dil itu diterima atau tidak, terlebih dahulu penulis akan sedikit menjelaskan apa saja syarat-syarat bagi seorang Ulama untuk melakukan Jarh wa Ta’dil. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :[1]
1.      Berilmu, bertaqwa, wara’, dan jujur. Karena bila ia tidak memiliki sifat-sifat ini, maka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain dengan al-jarh wa al-ta’dil yang senantiasa membutuhkan keadilannya.
Al-Hafizh berkata, “ Seyogyanya al-jarh wa al-ta’dil tidak diterima kecuali dari orang yang adil dan kuat ingatannya, yakni orang yang mampu mengungkapkan hadits dan kuat ingatannya sehingga menjadikannya berhati-hati dan ingat dengan tepat terhadap hadits yang ia ucapkan.”
2.      Ia mengetahui sebab-sebab al-jarh wa al-ta’dil. Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan dalam Syarh al-Nukhbah, “ Tazkiyah (pembersihan terhadap diri orang lain) dapat diterima bila dilakukan oleh orang yang mengetahui sebab-sebabnya, bukan orang yang tidak mengetahuinya, agar ia tidak memberikan tazkiyah hanya dengan apa yang kelihatan olehnya dengan sepintas tanpa mendalami dan memeriksanya.”
3.       Ia mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab, sehingga suatu lafazh yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya , atau men-jarh dengan lafazh yang tidak sesuai untuk men-jarh.
Tidak disyaratkan bagi ulama al-jarh wa al-ta’dil harus laki-laki dan merdeka. Yang penting dalam melakukan tazkiyah dan jarh, orang tersebut hendaklah orang yang adil, laki-laki maupun perempuan, orang merdeka atau hamba.
Suatu pendapat menyatakan bahwa tidak dapat diterima al-jarh wa al-ta’dilkecuali dengan pernyataan dua orang, seperti dalam kasus kesaksian lainnya. Namun, kebanyakan ulama menganggap cukup penilaian seorang ulama dalam al-jarh wa al-ta’dil apabila ia memenuhi syarat sebagai ulama al-jarh wa al-ta’dil, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Amidi dan Ibnu al-Hajib serta yang lainnya. Ibnu ash-Shalah berkata, “ itu adalah pendapat yang benar yang dipilih oleh al-Khatib dan lainnya, karena dalam hal diterimanya hadits tidak disyaratkan berbilangnya periwayat. Oleh karena itu, dalam penilaian jarh atau adilnya rawi tidak disyaratkan harus oleh sejumlah orang . lain halnya dengan hukum syahadah atau kesaksian.”[2]
Selain itu, terdapat pula beberapa peraturan atau tata tertib yang harus dijadikan sebagai pedoman oleh para Ulama Jarh wa Ta’dil dalam melakukan penilaiannya. Peraturan tersebut adalah :
1.       Bersikap obyektif dalam tazkiyah, sehingga ia tidak meninggikan seorang rawi dari martabat yang sebenarnya atau merendahkannya;sebagaimana yang terjadi bagi kebanyakan manusia dewasa ini.
2.      Tidak boleh jarh melebihi kebutuhan, karena jarh itu disyari’atkan lantaran darurat; sementara darurat itu ada batasnya.
3.      Tidak boleh hanya mengutip jarh saja sehubungan dengan orang yang dinilai jarh oleh sebagian kritikus, tapi dinilai adil oleh sebagian lainnya. Karena sikap yang demikian berarti telah merampas hak rawi yang bersangkutan dan para muhadditsin mencela sikap yang demikian.
4.      Tidak boleh jarh terhadap rawi yang tidak perlu dijarh, karena hukumnya disyari’atkan lantaran darurat. Maka dalam kondisi tidak ada daruratnya jarh tidak dapat dilaksanakan. Para ulama mencela perbuatan yang berlebihan dan melarang keras serta memperingatkan bahwa perbuatan itu adalah suatu kesalahan. Akan tetapi, sayangnya hal itu tidak memberi faedah pada sebagian orang yang merasa berlebihan dalam berilmu dewasa ini. Mereka beranggapan bahwa menjatuhkan lawan dengan mencela dan menuduh adalah tanda kesempurnaan pengetahuan dan pemahaman mereka, sehingga terciptalah tradisi yang jelek, ketika mereka berdiskusi dengan salah seorang yang alim dalam suatu disiplin ilmu tertentu maka mereka akan berusaha mencela perbuatan-perbuatan pribadinya, mencari-cari kesalahannya, menyertakan ribuan kedustaan kepada satu kejujuran, mengemukakan kata-kata celaan kepadanya dengan cara membuat para pengikutnya tercengang. Tujuannya semata-mata ingin membungkam lawannya dengan cara seperti itu sehingga menjadikan forum diskusi sebagai forum caci-maki, mencari-cari kesalahan orang, dan permusuhan.[3]
Setelah syarat sebagai seorang ulama Jarh wa Ta’dil dan peraturan melakukan Jarh wa Ta’dila dikemukakan, selanjutnya penulis akan memaparkan mengenai bagaimana sebuah Jarh wa Ta’dil itu diterima atau tidak. Syarat-syarat tersebut adalah :
1.      al-jarh wa al-ta’dil diucapkan oleh ulama yang telah memenuhi segala syarat sebagai ulama al-jarh wa al-ta’dil.
Al-Laknawi yang menjelaskan dalam kitabal-Raf’u wa al-Takmiil,[15] “wajib bagimu untuk tidak tergesa-gesa menghukumi jarh terhadap seorang rawi semata-mata karena ada penilaian sebagian ahli al-jarh wa al-ta’dil, melainkan engkau harus meneliti kebenarannya. Karena masalah ini amat penting dan banyak kendalanya. Anda tidak berhak menerima penilaian seluruh orang yang men-jarh terhadap rawi yang mana pun. Karena seringkali didapati suatu hal yang menyebabkan invaliditas suatu jarh.hal seperti ini banyak sekali bentuknya dan diketahui oleh mereka yang banyak menelaah kitab-kitab syari’ah. Antara lain adalah:[4]
a.         Orang yang menilai jarh itu sendiri kadangkala orang yang di-jarh. Dengan demikian, penilaian al-jarh wa al-ta’dil-nya idak boleh diterima begitu saja selama tidak didapati penilaian yang sama dari orang lain.
b.        Orang yang menilai jarh termasuk di antara orang yang sangat mempersulit dan memperberat.
2.      jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya. Adapun ta’dil tidak disyaratkan harus disertai penjelasan sebab-sebabnya. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama. Ibnu al-Shalah hanya membahas pendapat ini dan tidak membahas pendapat-pendapat lain.
 Ibnu al-Shalah berkata, “menurut pendapat yang benar dan masyur, ta’dildapat diterima tanpa menjelaskan sebab-sebabnya. Ini karena sebab-sebabnya sangat banyak, dan untuk menyebutkannya seorang pen-ta’dil harus berkata seperti rawi Fulan itu tidak melakukan hal lain, tidak melanggar peraturan ini, bahkan melakukan itu dan itu; sehingga ia terpaksa membilang semua hal yang menyebabkan kefasikan bila dikerjakan atau ditinggalkan. Hal ini adalah suatu hal yang amat berat. Adapun jarh tidak bisa diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya. Ini karena dalam menentukan sebab-sebab jarh setiap orang berbeda dengan yang lainnya. Sehingga seseorang bisa dinilai jarh menurut persepsinya, sementara pada hakikatnya tidak demikian. Oleh karena itu, jarh harus dijelaskan sebabnya, agar dapat dilihat apakah benar jarh-nya atau tidak. Hal ini telah jelas ditetapkan dalam fiqh dan ushulnya.” Demikian keterangan Ibnu al-Shalah.
3.      dapat diterima jarh yang sederhana tanpa dijelaskan sebab-sebabnya bagi periwayat yang sama sekali tidak ada yang men-ta’dil-nya. Demikianlah pendapat yang dipilih oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Syarh al- Nukhbah.  Ia berkata, “apabila periwayat yang di-jarh itu sama sekali tidak ada yang men-ta’dil-nya, maka baginya berlaku jarh yang sederhana tanpa dijelaskan sebab-sebabnya bila hal itu diucapkan oleh seorang yang bijak. Demikian menurut pendapat yang terpilih. Pendapat ini beralasan bahwa periwayat yang sama sekali tidak ada yang men-ta’dil-nya seakan-akan adalah periwayat yang majhul. Mengamalkan pernyataan penjarh itu lebih aik daripada menyia-nyiakannya.”
4.      jarh harus terlepas dari berbagai hal yang menghalangi kediterimaannya. Maka bila ada hal-hal yang menghalanginya, jarh tidak dapat diterima.[5]
B.     Gelar Para Ahli Hadits
Berikut adalah beberapa Gelar bagi para ahli Hadits  :
1. Thalibul Hadits, yaitu orang yang baru mulai menggeluti hadits.
2. Al-Musnid, yaitu orang yang meriwayatkan hadits dengan menyebutkannya secara bersanad baik ia memiliki pengetahuan tentangnya ataupun tidak memiliki kecuali hanya sekedar meriwayatkan.
3. Al-Muhaddiits, yaitu orang yang bergelut dengan ilmu hadits riwayah dan dirayah serta menela’ah banyak riwayat-riwayat dan mengetahui keadaan para perawinya menurut jarh wa ta’dil.
4. Al-Haafizh, lebih tinggi tingkatannya daripada muhaddiits dimana jumlah rijaal yang ia ketahui dari setiap thabaqaat lebih banyak dari yang tidak ia ketahui. Ada yang berpendapat bahwa ia adalah orang yang hafal 100 ribu hadits disertai pengetahuannya tentang keadaan para perawinya menurut jarh wa ta’dil.
5. Al-Hujjah, yaitu orang yang hafal 300 ribu hadits disertai pengetahuan-pengetahuannya tentang keadaan para perawinya menurut jarh wa ta’dil.
6. Al-Haakim, yaitu orang yang hafal seluruh hadits yang diriwayatkannya baik sanad maupun matannya. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah orang yang hafal 700 ribu hadits disertai pengetahuannya mengenai para perawinya dalam jarh wa ta’dil.
7. Amiirul Mu’miniin fiy Al-Hadiits. Ada yang mengatakan ia adalah orang yang paling tinggi tingkatan hafalan, ketelitian dan pendalamannya tentang hadits melebihi orang-orang yang berada di tingkatan sebelumnya dengan ketelitiannya menjadi sumber rujukan bagi Al-Haakim, Al-Haafizh dan yang lainnya.[6]

III.             PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa melakukan sebuah penelitian hadits merupakan sebuah pekerjaan yang  tidak mudah. Sebagai contoh dalam bidang Jarh wa Ta’dil ini. Syarat –syarat langkah-langkah yang harus diambil sangat panjang dan memerlukan waktu yang lama.
B.     Kritik dan Saran
Demikianlahsedikit pemaparan mengenai Syarat diterimanya Jarh wa Ta’dil ini. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang kemudian akan penulis gunakan sebagai bahan evaluasi kedepannya.



DAFTAR PUSTAKA

Teungku M. Hasbi as Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010.
Nuruddin, ,‘Ulumul Hadits, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2012.
Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis (Bairut:  Dar al-Fikr,  tth.,  cet.1




[1] Teungku M. Hasbi as Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010), Hlm. 279.
[2] Nuruddin, ‘Ulumul Hadits, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2012),Hlm.84-85
[4] Teungku M. Hasbi as Shidieqy, Op.Cit, Hlm. 281
[5] Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushtalah al-Hadis (Bairut:  Dar al-Fikr,  tth.),  . cet.1,  h. 33
[6] Nurrudin, Op. Cit., Hlm.90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar