I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam telah
mendapat perhatian yang serius dan para Ulama dalam upaya memelihara
keotentikannya. Hadits telah dibukukan di dalam berbagai kitab dan penulis
kitab hadits disebut periwayat sekaligus penghimpun hadits. Sebagian penghimpun
hadits telah berupaya untuk menyeleksi hadits-hadits yang shahih di dalam
kitabnya, namun sebagian lain menghimpun hadits sebanyak mungkin tanpa
membedakan antara yang sahih dan yang tidak sahih, seperti musnad Imam Ibn
Hanbal dan kitab-kitab musnad lainnya.
Dengan demikian kita sebagai umat muslim tidak
boleh menerima begitu saja hadits yang diriwayatkan oleh para ulama terdahulu
atau dikenal dengan seorang perawi. Maka dari itu melalui ilmu Jarh wa Ta’dil
inilah kita akan belajar mengenai riwayat hidup seorang perawi apakah
riwayatnya tersebut Shahih ataupun Dhoif. Namun, terdapat beberapa persyaratan
bagi seseorang yang akan menjarh ataupun men-Ta’dil seorang perawi. Yang Insya
Alloh akan penulis bahas di dalam makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
saja Syarat-syarat diterimanya Jarh wa Ta’dil itu ?
2.
Apa
sajakah Gelar para Ahli Hadits ?
II.
PEMBAHASAN
A.
Syarat
Diterimanya Jarh wa Ta’dil
Sebelum membahas mengenai bagaimana Jarh ataupun Ta’dil itu
diterima atau tidak, terlebih dahulu penulis akan sedikit menjelaskan apa saja
syarat-syarat bagi seorang Ulama untuk melakukan Jarh wa Ta’dil. Syarat-syarat
tersebut adalah sebagai berikut :[1]
1.
Berilmu,
bertaqwa, wara’, dan
jujur. Karena bila ia tidak memiliki sifat-sifat ini, maka bagaimana ia dapat
menghukumi orang lain dengan al-jarh
wa al-ta’dil yang senantiasa
membutuhkan keadilannya.
Al-Hafizh
berkata, “ Seyogyanya al-jarh
wa al-ta’dil tidak diterima
kecuali dari orang yang adil dan kuat ingatannya, yakni orang yang mampu
mengungkapkan hadits dan kuat ingatannya sehingga menjadikannya berhati-hati
dan ingat dengan tepat terhadap hadits yang ia ucapkan.”
2.
Ia
mengetahui sebab-sebab al-jarh
wa al-ta’dil. Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan dalam Syarh al-Nukhbah, “ Tazkiyah (pembersihan terhadap diri orang lain)
dapat diterima bila dilakukan oleh orang yang mengetahui sebab-sebabnya, bukan
orang yang tidak mengetahuinya, agar ia tidak memberikan tazkiyah hanya dengan apa
yang kelihatan olehnya dengan sepintas tanpa mendalami dan memeriksanya.”
3.
Ia mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab, sehingga
suatu lafazh yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya , atau men-jarh dengan lafazh yang tidak sesuai untuk
men-jarh.
Tidak
disyaratkan bagi ulama al-jarh wa al-ta’dil harus laki-laki
dan merdeka. Yang penting dalam melakukan tazkiyah dan jarh,
orang tersebut hendaklah orang yang adil, laki-laki maupun perempuan, orang
merdeka atau hamba.
Suatu pendapat menyatakan
bahwa tidak dapat diterima al-jarh wa al-ta’dilkecuali dengan
pernyataan dua orang, seperti dalam kasus kesaksian lainnya. Namun, kebanyakan
ulama menganggap cukup penilaian seorang ulama dalam al-jarh wa
al-ta’dil apabila ia memenuhi syarat sebagai ulama al-jarh wa
al-ta’dil, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Amidi dan Ibnu al-Hajib serta
yang lainnya. Ibnu ash-Shalah berkata, “ itu adalah pendapat yang benar yang
dipilih oleh al-Khatib dan lainnya, karena dalam hal diterimanya hadits tidak disyaratkan
berbilangnya periwayat. Oleh karena itu, dalam penilaian jarh atau adilnya rawi
tidak disyaratkan harus oleh sejumlah orang . lain halnya dengan hukum syahadah atau
kesaksian.”[2]
Selain itu, terdapat pula beberapa peraturan atau tata tertib yang
harus dijadikan sebagai pedoman oleh para Ulama Jarh wa Ta’dil dalam melakukan
penilaiannya. Peraturan tersebut adalah :
1.
Bersikap obyektif dalam tazkiyah,
sehingga ia tidak meninggikan seorang rawi dari martabat yang sebenarnya atau
merendahkannya;sebagaimana yang terjadi bagi kebanyakan manusia dewasa ini.
2.
Tidak
boleh jarh melebihi kebutuhan, karena jarh itu disyari’atkan lantaran darurat;
sementara darurat itu ada batasnya.
3.
Tidak
boleh hanya mengutip jarh saja sehubungan dengan orang yang dinilai jarh oleh sebagian kritikus,
tapi dinilai adil oleh sebagian lainnya. Karena sikap yang demikian berarti
telah merampas hak rawi yang bersangkutan dan para muhadditsin mencela sikap
yang demikian.
4.
Tidak
boleh jarh terhadap rawi yang tidak perlu dijarh,
karena hukumnya disyari’atkan lantaran darurat. Maka dalam kondisi tidak ada
daruratnya jarh tidak dapat dilaksanakan. Para ulama
mencela perbuatan yang berlebihan dan melarang keras serta memperingatkan bahwa
perbuatan itu adalah suatu kesalahan. Akan tetapi, sayangnya hal itu tidak
memberi faedah pada sebagian orang yang merasa berlebihan dalam berilmu dewasa
ini. Mereka beranggapan bahwa menjatuhkan lawan dengan mencela dan menuduh
adalah tanda kesempurnaan pengetahuan dan pemahaman mereka, sehingga terciptalah
tradisi yang jelek, ketika mereka berdiskusi dengan salah seorang yang alim
dalam suatu disiplin ilmu tertentu maka mereka akan berusaha mencela
perbuatan-perbuatan pribadinya, mencari-cari kesalahannya, menyertakan ribuan
kedustaan kepada satu kejujuran, mengemukakan kata-kata celaan kepadanya dengan
cara membuat para pengikutnya tercengang. Tujuannya semata-mata ingin
membungkam lawannya dengan cara seperti itu sehingga menjadikan forum diskusi
sebagai forum caci-maki, mencari-cari kesalahan orang, dan permusuhan.[3]
Setelah syarat sebagai seorang ulama Jarh wa Ta’dil dan peraturan melakukan
Jarh wa Ta’dila dikemukakan, selanjutnya penulis akan memaparkan mengenai
bagaimana sebuah Jarh wa Ta’dil itu diterima atau tidak. Syarat-syarat tersebut
adalah :
1.
al-jarh
wa al-ta’dil diucapkan oleh ulama yang telah memenuhi segala syarat sebagai
ulama al-jarh wa al-ta’dil.
Al-Laknawi yang
menjelaskan dalam kitabal-Raf’u wa al-Takmiil,[15] “wajib bagimu untuk tidak
tergesa-gesa menghukumi jarh terhadap seorang rawi semata-mata karena ada penilaian sebagian ahli al-jarh
wa al-ta’dil, melainkan engkau harus meneliti kebenarannya. Karena masalah
ini amat penting dan banyak kendalanya. Anda tidak berhak menerima penilaian
seluruh orang yang men-jarh terhadap rawi yang mana pun. Karena
seringkali didapati suatu hal yang menyebabkan invaliditas suatu jarh.hal
seperti ini banyak sekali bentuknya dan diketahui oleh mereka yang banyak
menelaah kitab-kitab syari’ah. Antara lain adalah:[4]
a. Orang
yang menilai jarh itu sendiri kadangkala orang yang di-jarh.
Dengan demikian, penilaian al-jarh wa al-ta’dil-nya idak boleh
diterima begitu saja selama tidak didapati penilaian yang sama dari orang lain.
b. Orang
yang menilai jarh termasuk di antara orang yang sangat
mempersulit dan memperberat.
2.
jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya. Adapun ta’dil tidak disyaratkan harus disertai
penjelasan sebab-sebabnya. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama. Ibnu
al-Shalah hanya membahas pendapat ini dan tidak membahas pendapat-pendapat
lain.
Ibnu al-Shalah berkata,
“menurut pendapat yang benar dan masyur, ta’dildapat
diterima tanpa menjelaskan sebab-sebabnya. Ini karena sebab-sebabnya sangat
banyak, dan untuk menyebutkannya seorang pen-ta’dil harus berkata seperti rawi Fulan itu
tidak melakukan hal lain, tidak melanggar peraturan ini, bahkan melakukan itu
dan itu; sehingga ia terpaksa membilang semua hal yang menyebabkan kefasikan
bila dikerjakan atau ditinggalkan. Hal ini adalah suatu hal yang amat berat.
Adapun jarh tidak bisa diterima kecuali
dijelaskan sebab-sebabnya. Ini karena dalam menentukan sebab-sebab jarh setiap
orang berbeda dengan yang lainnya. Sehingga seseorang bisa dinilai jarh menurut persepsinya, sementara pada
hakikatnya tidak demikian. Oleh karena itu, jarh harus dijelaskan sebabnya, agar dapat
dilihat apakah benar jarh-nya
atau tidak. Hal ini telah jelas ditetapkan dalam fiqh dan ushulnya.” Demikian
keterangan Ibnu al-Shalah.
3.
dapat
diterima jarh yang sederhana tanpa dijelaskan
sebab-sebabnya bagi periwayat yang sama sekali tidak ada yang men-ta’dil-nya.
Demikianlah pendapat yang dipilih oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Syarh al-
Nukhbah. Ia berkata, “apabila periwayat yang
di-jarh itu sama sekali
tidak ada yang men-ta’dil-nya, maka baginya berlaku jarh yang sederhana tanpa dijelaskan
sebab-sebabnya bila hal itu diucapkan oleh seorang yang bijak. Demikian menurut
pendapat yang terpilih. Pendapat ini beralasan bahwa periwayat yang sama sekali
tidak ada yang men-ta’dil-nya seakan-akan adalah periwayat yang majhul. Mengamalkan pernyataan
penjarh itu lebih aik daripada menyia-nyiakannya.”
4.
jarh harus terlepas dari berbagai hal yang menghalangi kediterimaannya.
Maka bila ada hal-hal yang menghalanginya, jarh tidak dapat diterima.[5]
B.
Gelar
Para Ahli Hadits
Berikut adalah
beberapa Gelar bagi para ahli Hadits :
1.
Thalibul Hadits, yaitu orang yang baru mulai menggeluti hadits.
2.
Al-Musnid, yaitu orang yang meriwayatkan hadits dengan menyebutkannya secara
bersanad baik ia memiliki pengetahuan tentangnya ataupun tidak memiliki kecuali
hanya sekedar meriwayatkan.
3.
Al-Muhaddiits, yaitu orang yang bergelut dengan ilmu hadits riwayah dan dirayah
serta menela’ah banyak riwayat-riwayat dan mengetahui keadaan para perawinya
menurut jarh wa ta’dil.
4.
Al-Haafizh, lebih tinggi tingkatannya daripada muhaddiits dimana jumlah rijaal
yang ia ketahui dari setiap thabaqaat lebih banyak dari yang tidak ia ketahui.
Ada yang berpendapat bahwa ia adalah orang yang hafal 100 ribu hadits disertai
pengetahuannya tentang keadaan para perawinya menurut jarh wa ta’dil.
5.
Al-Hujjah, yaitu orang yang hafal 300 ribu hadits disertai
pengetahuan-pengetahuannya tentang keadaan para perawinya menurut jarh wa
ta’dil.
6.
Al-Haakim, yaitu orang yang hafal seluruh hadits yang diriwayatkannya baik
sanad maupun matannya. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah orang yang hafal 700
ribu hadits disertai pengetahuannya mengenai para perawinya dalam jarh wa
ta’dil.
7.
Amiirul Mu’miniin fiy Al-Hadiits. Ada yang mengatakan ia adalah orang yang
paling tinggi tingkatan hafalan, ketelitian dan pendalamannya tentang hadits
melebihi orang-orang yang berada di tingkatan sebelumnya dengan ketelitiannya
menjadi sumber rujukan bagi Al-Haakim, Al-Haafizh dan yang lainnya.[6]
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa melakukan
sebuah penelitian hadits merupakan sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Sebagai contoh dalam bidang Jarh
wa Ta’dil ini. Syarat –syarat langkah-langkah yang harus diambil sangat panjang
dan memerlukan waktu yang lama.
B.
Kritik
dan Saran
Demikianlahsedikit pemaparan mengenai Syarat diterimanya Jarh wa
Ta’dil ini. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan yang
terdapat dalam makalah ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca yang kemudian akan penulis gunakan sebagai bahan evaluasi
kedepannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Teungku M. Hasbi as Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010.
Nuruddin, ,‘Ulumul Hadits, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya,2012.
Mahmud ath-Thahan, Taisir
Mushtalah al-Hadis, (Bairut: Dar al-Fikr, tth., cet.1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar