I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Permasalahan Iman, sangat prinsip
sekali dalam perjalanan kita menuju Allah. Karena demikian banyak janji dan
perintah Allah ditujukan kepada orang yang beriman, bukan kepada seluruh
manusia. Banyak orang sekarang ini yang keliru mendefinisikan iman. Sehingga ia
menyangka bahwa dirinya telah beriman. Kesalahan ini berakibat fatal sekali, karena
ia menganggap bahwa dirinya tersebut telah masuk kepada golongan yang dijanjikan
oleh Allah, sehingga tidak merasa berkepentingan dengan peringatan-peringatan
Allah di dalam Al Qur’an yang ditujukan kepada mereka yang kafir atau buta
hati.
B.
Rumusan
Masalah
Masalah
yang akan penulis bahas dalam makalah ini adalah berkenaan dengan bagaimana
seseorang dianggap telah beriman atau apa saja tanda-tanda iman menurut hadits
yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW.
II.
PEMBAHASAN
Banyak
sekali hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Yang diantaranya
adalah membahas mengeanai tanda-tanda seseorang beriman. Dari berbagai hadits
berkenaan dengan tanda-tanda orang beriman, penulis mengambil beberapa hadits
diantaranya :
A.
Tanda-tanda
orang beriman adalah orang yang peduli pada kaum Anshar. Haditsnya sebagai
berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِى عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَبْرٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا عَنِ النَّبِىِّ
- صلى الله عليه وسلم - قَالَ آيَةُ الإِيمَانِ حُبُّ الأَنْصَارِ ، وَآيَةُ
النِّفَاقِ بُغْضُ الأَنْصَارِ
Telah memberitahu kami Abul Walid, ia berkata telah meberitahu kami Syu'bah, ia berkata telah mengabarkan kepada kami Adullah bin Abdullah bin Jabr, ia berkata, aku mendengar dari Anas bahwa Nabi SAW bersabda: "Diantara tanda-tanda iman adalah mencintai kaum Anshar dan di antara tanda-tanda munafik adalah membencinya."[1]
Penjelasan
Hadits :
آيَةُ الإِيمَانِ
حُبُّ الأَنْصَارِ
Diantara tanda-tanda iman adalah
mencintai kaum Anshar
Kata ayat (اية) berarti "tanda" (علامة). Tanda (علامة) adalah khashah (ciri khusus) yang terdapat pada beberapa benda/hal.
Kata ayat (اية) berarti "tanda" (علامة). Tanda (علامة) adalah khashah (ciri khusus) yang terdapat pada beberapa benda/hal.
Mungkin
timbul pertanyaan, apakah jika seorang yang telah berikrar syahadat lalu tidak
mencintai kaum Anshar berarti menjadi kafir/munafik? Bukankah kaum Anshar itu
banyak dan boleh jadi seseorang, terutama yang sezaman dengan mereka, karena
persoalan "manusiwai" kemudian tidak mencintai mereka? Ibnu Hajar Al
Asqalani berpendapat bahwa jika sebabnya adalah karena mereka menolong
Rasulullah, maka orang itu termasuk munafik. Demikian pula pendapat banyak
ulama. Bahkan seseorang bisa menjadi kafir karena membenci Anshar lantaran
mereka menolong Rasulullah SAW.
Anshar (الأنصار) merupakan bentuk jamak
(plural) dari kata ناصر atau نصير yang berarti "penolong." Huruf lam yang ada pada kata
itu untuk membatasi istilah dalam hadits ini dan juga dalam terminologi Islam,
bahwa Anshar itu berarti penolong Rasulullah SAW. Mereka adalah suku Aus dan
suku Khazraj yang sebelumnya dikenal dengan Ibnay Qailah (dua anak Qailah),
nenek moyang mereka. Karena pertolongannya yang begitu besar kepada Rasulullah
SAW dan para muhajirin, khususnya sejak hijrah, maka Rasulullah menamakan
mereka "Anshar".
Dengan
pertolongan yang diberikan kepada Rasulullah, Anshar menjadi dibenci dan
dimusuhi oleh banyak kabilah. Oleh karena itu Rasulullah mengingatkan agar kaum
muslimin mencintai mereka. Bahkan menjadikan kecintaan itu sebagai tanda
keimanan. Tentu saja, kecintaan itu juga
harus dimiliki oleh orang-orang yang datang pada generasi berikutnya, termasuk
di zaman kita. Dan bagaimana mungkin kita mampu mencintai sahabat-sahabat
Anshar jika kita tidak mengenal mereka? Karenanya, dalam hadits ini secara
eksplisit juga terdapat anjuran bagi generasi kita hari ini untuk membaca
sejarah mereka hingga kemudian kita mengenal mereka dan mencintainya.[2]
وَآيَةُ
النِّفَاقِ بُغْضُ الأَنْصَارِ
dan di antara tanda-tanda munafik
adalah membenci kaum Anshar
Ada hadits lain yang sejalan dengan hadits ini dan menjelaskannya. Diantaranya adalah hadits riwayat syaikhain berikut ini:
Ada hadits lain yang sejalan dengan hadits ini dan menjelaskannya. Diantaranya adalah hadits riwayat syaikhain berikut ini:
الأَنْصَارُ لاَ
يُحِبُّهُمْ إِلاَّ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ يُبْغِضُهُمْ إِلاَّ مُنَافِقٌ ، فَمَنْ
أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ اللَّهُ ، وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللَّهُ
Anshar. Tidak ada yang mencintai mereka kecuali orang beriman, dan tidak ada yang membencinya kecuali orang munafik. Barang siapa mencintai Anshar, maka Allah akan mencintainya. Dan barang siapa membenci Anshar, maka Allah akan memurkainya. (HR. Bukhari Muslim, ini adalah redaksi Bukhari).
Lalu adakah orang yang membenci
Anshar yang luar biasa itu? Kadang-kadang tanpa disadari seorang muslim
terperosok dalam kebencian kepada sahabat –termasuk Anshar- ketika ia
"lancang" memberikan penilaian kepada para shahabat dengan hal-hal
yang tak pantas bagi mereka radhiyallaahu anhum. Khususnya kepada mereka yang
terlibat pada masa fitnah. Hingga kemudian kita dapati sebagian kaum muslimin
mencela sahabat atau memberikan penilaian negatif kepadanya. Semoga kita
dihindarkan Allah dari hal yang demikian.
Pelajaran
Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Keimanan dan kemunafikan
memiliki tanda-tanda;
2. Diantara tanda keimanan adalah
mencintai Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membencinya;
3. Tuntunan agar kita mencintai
Anshar;
4. Di zaman kita sekarang, agar
dapat mencintai Anshar maka kita perlu mempelajari sejarah mereka agar dapat
mengenal dan mencintai mereka.[3]
B.
Menuju
Kesempurnaan Iman
عَنْ أَبِيْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ بِنِ عمْرِو بْنِ العَاصِ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: “لاَيُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَواهُ تَبَعَاً لِمَا جِئْتُ بِهِ” (1) حَدِيْثٌ
حَسَنٌ صَحِيْحٌ رَوَيْنَاهُ فِي كِتَابِ الحُجَّةِ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ
Dari Abdullah Bin ‘Amr bin al ‘Ash a. Bekata
: berkata Rasulullah SAW : “tidaklah seseorang dikatakan beriman hingga
keinginannya tunduk pada apa yang aku datang dengannya”.
Penjelasan dan faidah
Hadits :[4]
1. Menuju Keimanan yang
Sempurna
Maksud dari tidaklah
seseorang dikatakan beriman, adalah tidak dikatakan sempurna keimanannya. Iman
itu memiliki akar dan cabang-cabang, dan diantara cabang keimanan adalah
menjadikan keinginan tunduk kepada apa-apa yang Rasulullah sampaikan. Keinginan
manusia itu ada dua jenis, keinginan yang baik dan keinginan yang buruk, kedua
keinginan itu, pada dasarnya harus dikontrol oleh otoritas wahyu Allah swt. Salah satu
jalan yang harus ditempuh seorang mukmin menuju kesempurnaan iman adalah
mengenyahkan aneka keinginan, dan kemudian mengisi lemari keinginannya dengan
apa-apa yang Rasulullah perintahkan. Jika hadits ini diberikan kepada seseorang yang
merasa sulit beribadah dan sulit ta’at maka kita akan lebih mudah memahami. Tetapi hadits
ini dinarasikan oleh Rasulullah kepada Abdullah Bin ‘Amr Bin al ‘Ash yang
terkenal ahli ibadah. Maka jelaslah sikap ekstrim itu tidak boleh, yang ada adalah kita
mencelup pundi-pundi keinginan kita dengan celupan Allah SWT.
2.
Sikap mengikuti hawa nafsu dimulai dari lalai dalam berdzikir
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya
di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua
matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia
ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari
mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu
melewati batas” (al Kahfi : 28)
Lalai berdzikir – mengikuti hawa nafsu – melampaui batas , adalah 3 hal
yang saling mempengaruhi, untuk itu mengistiqamahkan bedzikir adalah langkah
awal menundukkan hawa nafsu.
3.
Mengikuti hawa nafsu akan membuat tersesat dalam kedzaliman
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa
sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa
nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (al Qashah : 50)
4.
Menata langkah dalam mengelola hari
Abu Darda berkata : “Setiap muslim dipagi harinya akan dipenuhi keinginan
juga lintasan-lintasan pengetahuan yang dimilikinya, jika keinginannya tunduk
pada ilmu nya maka hari itu adalah hari baik, tetapi jika ilmu tunduk pada hawa
nafsunya maka itu adalah hai buruk”. Memulai hari
dengan beriman dan berpikir adalah salah satu cara menundukan hawa nafsu.[5]
III.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan
di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa tanda-tanda seseorang itu
beriman atau tidak. Diantaranya adalah mencintai kaum anshar dan patuh pada
Rasulullah.
B. Kritik dan Saran
Penulis
menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Maka dari
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat penulis jadikan
pertimbangan untuk menjadi lebih baik kedepannya.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Tirta dan
Tarmana Ahmad Qasim. Pokok-pokok keimanan
(terjemah kitabul imanS). Bandung : Trigenda Karya. 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar